Perjuangan Diplomat Indonesia*

30 Mei 2010

Judul Buku : Diplomasi Dalam Aksi: Sebelas Diplomat Indonesia
Penulis : Nogroho Wisnumurti (ed.)
Penerbit : Angkasa Bandung
Cetakan : I, Desember, 2008
Tebal : vi + 192 halaman

Dalam studi Hubungan Internasional, Bargaining Position (Posisi tawar-menawar) sebuah negara terkait konteks seberapa besar ia dipertimbangkan oleh negara-negara lain dalam pergaulan internasional adalah sedikit banyak ditentukan oleh Diplomatnya. Itu mengapa, buku ini hadir untuk mencoba menjawab pertanyaan yang bagi sebagian besar masyarakat kita adalah hal yang sangat awam.

Kepustakaan mengenai dunia diplomasi, diplomat, dan urusan luar negeri terkait kepentingan nasional (national interest) Indonesia masih tidak banyak ditulis. Baik oleh para pelakunya sendiri maupun penulis lain, entah ditujukan sebagai studi sejarah maupun sebagai memoar pribadi.

Kerukunan Purnakaryawan Departemen Luar Negeri (KP Deplu) memprakarsai penerbitan buku Diplomasi Dalam Aksi ini, yang dimaksudkan untuk memperkaya khasanah kepustakaan tentang diplomasi Indonesia. Buku ini kebetulan diluncurkan tepat setelah tujuh hari kematian almarhum Bpk. Ali Alatas, S.H pada waktu acara Pusdiklat Departemen Luar Negeri di Pejambon.

Dalam peluncurannya, kehadiran buku ini juga didedikasikan untuk salah satu putra terbaik negeri yang terkenal dengan julukan “Sang Diplomat Ulung” itu, sekaligus penghargaan atas prestasi mengagumkan yang sempat tersemat pada diri beliau sebagai kandidat kuat untuk menjadi Sekjen PBB mewakili Benua Asia setelah Kofi Annan seandainya usia beliau masih layak saat itu.

Sebelas mantan diplomat senior Indonesia yang berkarir lebih dari 30 tahun dalam karir diplomatnya (diplomat carier), benar-benar representasi dari seorang diplomat (ambassador) setelah melalui delapan tahapan dengan rentang waktu tiga tahun di setiap tingkatannya, mencoba menuliskan “sejarah” ulang penggalan pengalaman mereka yang panjang dan penuh tantangan di bidang diplomasi lewat buku ini kembali.

Penggalan Pengalaman
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana beratnya menjadi seorang diplomat dalam menjalankan tugas sesuai instruksi pimpinan pemerintahan (Presiden dan Menteri Luar Negeri) ketika diwajibkan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Setidaknya penerbitan buku ini merupakan suatu pengungkapan kerja keras para diplomat kita dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia lengkap dengan kedaulatan, harkat, dan martabat sebagai negara di mata dunia maupun pergaulan internasional.

Upaya diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat kita tidak semuanya menunjukkan kemudahan. Bahkan lebih banyak jalan terjal yang harus dilalui, seperti ruwetnya perjuangan Indonesia untuk mengegolkan upaya membentuk Dana Bersama (Common Fund) oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Extraordinary Plepotenciary) Poejdi Koentarso untuk menyelamatkan negara-negara berkembang akibat badai krisis energi minyak tahun 1973. Tidak hanya sulitnya lika-liku diplomasi yang harus dihadapi, perjuangan ini untuk berhasil pun memakan waktu yang sangat panjang. Kurang lebih 10 tahun, mulai Maret 1977 sampai Juni 1988 (baca halaman 48).

Perjuangan tidak hanya sampai di situ, selain tenaga, pikiran, tekanan psikologis, dan waktu, nyawa pun seolah kurang cukup untuk mengiringi seorang diplomat dalam penugasannya. Hal ini dialami langsung oleh Darwoto ketika masih menjabat sebagai Sekretaris Pertama (Counsellor) di KBRI Peking, RRC. Ketegangan itu adalah perlakuan para demonstran yang membahayakan jiwa dari seorang pejabat diplomat publik, karena suasananya saat itu antara RRC-RI sedang saling curiga terkait percobaan kudeta oleh G-30-S/PKI di Indonesia yang dipenuhi wacana tuduhan keterlibatan RRC atas bergulirnya tragedi kemanusiaan ini.

Apresiasi dan Harapan
Secara pribadi, tiga dari sebelas Diplomat yang menyumbangkan tulisan di buku ini kebetulan mengajar dan menjadi dosen tetap di jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pasca berakhirnya diplomat karier mereka, memang menegaskan kepawaian yang sarat akan pengalaman dalam bidang diplomasi dan urusan luar negeri. Materi buku yang berisi pengalaman inilah yang kemudian mengenalkan kita kepada sosok para diplomat bangsa ini, bahwa mereka dalam sepak-terjangnya penuh dengan “aksi”.

Namun di sisi lain, para diplomat kita yang menjabat juga patut disayangkan. Dari sekian ratus diplomat yang ada, tentunya kaya akan pengalaman dan “aksi” nyata, sayangnya mereka miskin dalam berkarya. Menjadikan masalah diplomasi dan urusan luar negeri adalah hal yang sangat awam bagi masyarakat. Seolah masalah ini hanya terbatas pada lingkungan Pejambon dan Deplu saja. Urusan luar negeri seolah kurang “membumi” karena memang begitu sedikitnya literatur yang membahas soal ini sebagai sarana sosialisasi.

Bahkan hadirnya buku tidak tebal ini di akhir tahun menunjukkan minimalisnya para diplomat kita dalam kemauan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Tampaknya para mantan diplomat kita harus mulai ada kesadaran untuk menghadirkan “sejarah” kembali dalam bentuk karya tulisan yang belum sempat mereka lakukan semasa menjabat diplomat karir dengan kesibukan luar biasa itu.

Mereka dapat melakukan disela-sela mengajar sebagai dosen di usia senjanya. Hal ini akan sangat berguna untuk menciptakan keterkaitan mata rantai ilmu hubungan internasional terkait serba-serbi dunia diplomasi kepada generasi selanjutnya. Jangan biarkan “warisan” ini hilang termakan oleh penurunan daya ingat para mantan diplomat kita yang semakin tua itu.

Semoga kehadiran buku ini di penghujung bulan akan menjadi kado indah di awal tahun ke depan. Sebagaimana harapan almarhum Ali Alatas, kumpulan tulisan-tulisan ini sekiranya dapat merangsang para diplomat kita, baik yang sedang menjabat diplomat karir mapun purnakaryawan untuk mewariskan pengalamannya melalui litaratur sebagai upaya memperkaya khasanah kepustakaan diplomasi. Meskipun materinya berat, namun penulisan buku ini mencoba menghadirkan suasana yang ringan, tidak terlaku kaku dan “protokoler” layaknya pidato kenegaraan.

Siapapun mereka, diplomat kita adalah orang yang harus kita apresiasi. Mereka adalah caraka-caraka yang menjalankan tugas negara dengan penuh dedikasi. Keahlian bernegoisasi untuk kemudian menciptakan suatu kondisi yang mampu mengubah arah strategi dan taktik lawan adalah salah satu bentuk dari keberhasilan diplomasi, yang disebut juga sebagai “garis depan pertahanan negara” (diplomacy is the fronline of defense). Maka dari itu, diplomat kita tak ubahnya seperti pahlawan yang dalam tugas kenegaraannya adalah suatu perjuangan.

*Moh. Fairuz Ad-Dailami, Majalah DIPLOMASI, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (Edisi 7, Maret 2008)

Tinggalkan komentar