Oleh: Moh. Fairuz Ad-Dailami

Fakta  membuktikan, Islam mempunyai lintasan penting dalam sejarah Dunia. Sebelum abad pertengahan, Islam telah mempunyai peradaban yang sangat maju pada masanya. Meskipun hal itu kemudian terpaksa diwariskan kepada Barat (Eropa) akibat kekalahannya dalam Perang Salib (Suhelmi, 2007:230). Keyayaan ilmu pengetahuan warisan ini pun dimanfaatkan dengan baik oleh Barat yang dalam perjalanan waktunya diakuisisi sampai sekarang, bahwa hanya dari Barat-lah ilmu-ilmu itu dilahirkan.

Jelas, Islam dan Barat sampai saat ini masih mempunyai persinggungan yang fundamental. Hal ini lahir dari sebuah rasa khawatir Barat terhadap Islam yang sebenarnya memiliki kekuatan potensial, maupun sikap klaim Islam terhadap Barat sebagai orang-orang yang jauh dari kebaikan, dan bahkan berhak untuk dimusnahkan. Persinggungan ini tampaknya akan melahirkan permusuhan yang panjang dan tak berkesudahan.

Dalam dunia modern dewasa ini, diakui atau tidak, Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya adalah penguasa dunia tak terbantahkan[1]. Hegemoninya begitu besar hingga mampu mempengaruhi hampir semua negara-negara yang ada. Dalam kaitan permusuhannya dengan Islam, Barat mempunyai banyak cara untuk mengurangi kekuatan potensial Islam dalam kancah dunia. Salah satunya isu terorisme yang terus mengemuka sebagai wacana ancaman bagi kehidupan umat manusia.

Komparasi Intermestik

Dalam melihat Isu Terorisme dan Islam, jauh lebih komprehensif apabila digunakan komparasi Intermestik[2] (internasional dan domestik) yang memang memiliki perbedaan kasus. Bahwa motif yang menyertai aksi terorisme di luar dan dalam negeri kenyataannya mempunyai maksud dan tujuan tidak sama.

Pasca berakhirnya Perang Dingin di penghujung tahun1990-an, antara Liberalis dengan Sosialis-Komunis (Amerika Serikat dan Uni Soviet) dapat dibilang Amerika Serikat lah pemengangnya. Kekuasan dunia yang sebelumnya berpola Bipolar berubah menjadi Unipolar dengan Amerika Serikat sebagai Adidaya tunggal tak terkalahkan oleh negara manapun.

Setelah musuh berat (Uni Soviet) Amerika Serikat tumbang, hal ini tidak serta-merta menghilangkan naluri negara Adidaya untuk selalu mencari permusuhan. Kekalahan Uni Soviet menjadikan Amerika Serikat mengalami disorientasi (buta arah) dalam pencarian seteru mana yang sekuat Uni Soviet untuk dijadikan lawan berikutnya. Islam di mata Barat merupakan lawan berikutnya yang dalam akar sejarah sebelumnya memang telah terjadi “persinggungan”.

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat mengalami perubahan drastis pasca tragedi 11 September 2001 atas aksi pengeboman yang terjadi di Menara Kembar WTC, dan mereka yakin hal ini dilakukan oleh para teroris. Baginya tragedi ini merupakan pukulan telak bagi Supremasi Adidaya, yang kemudian memicu Foreign Policy-nya untuk mengkampanyekan perang melawan terorisme.

Yang  menyedihkan adalah, menurut Barat, aksi terorisme ini dilakukan oleh umat Islam. Padahal rekayasa Barat dalam memprovokasi opini dunia menggunakan isu perang melawan terorisme adalah taktik Barat sendiri jika peristiwa 11/9 WTC itu dilihat menggunakan Teori Konspirasi[3]. Hasilnya, Barat telah mengantongi legitimasi dalam membuka pintu permusuhannya terhadap Islam.

Tampaknya Barat selama ini cukup berhasil dalam membangun opini politik internasional, yang intinya Islam adalah musuh bersama dan agama sumber kekerasan. Amerika Serikat sebagai polisi dunia kemudian merasa berhak mengontrol Islam dengan banyak cara[4] dalam upaya pelemahan kekuatan Islam.      

Terkait masalah jaringan terorisme internasional, faktanya para pelaku maupun sel jaringan terorisme yang ada di Indonesia merupakan mantan veteran Jihadis Transnasional[5] di Taliban. Kelompok yang dikenal Al-Qaeda selama ini, sejarahnya dibentuk oleh Amerika Serikat dalam kepentingannya membantu melawan Uni Soviet pada masa Perang Dingin.

Sementara aksi terorisme yang terjadi di dalam negeri, tepatnya Indonesia dilatar-belakangi banyak faktor, selain penyebaran jaringan terorisme transnasional yang memang datang  ke Asia Tenggara[6],  juga mudahnya warga Indonesia “dipengaruhi” dan direkrut para kelompok teroris sehingga tidak tahu jika mereka sebenarnya telah didoktrin pada pemahaman jihad yang salah.

Jaringan terorisme transnasional yang berakar dari Timur Tengah ini kemudian dengan mudah bersinergi dengan organisasi-organisasi radikal Islam di Indonesia, sebut saja Hizbut Tahrir, NII, dan Jama’ah Islamiah (JI). Motif yang menjadi landasan bagi legitimasi aksi terorisme kelompok Islam radikal baik di tingkat global maupun domestik adalah jihad melawan segala bentuk simbol Barat sebagai orang-orang kafir yang berhak dibunuh.

Menurut Ulil Abshar Abdalla, konsep dan definisi jihad yang ada di hampir semua literatur kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan bahkan dalil-dalil ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa jihad adalah tindakan yang bersifat kekerasan (offensive) atau pembunuhan (al-qital). Ini yang menjadi dasar kuat bagi kelompok Islam radikal untuk membenarkan tindakan mereka sekalipun bertentangan dengan norma dan hak asasi manusia (terorisme).

Namun, apa yang terjadi di Indonesia, oleh Ulil Abshar Abdalla justru menurutnya terdapat keanehan yang menunjukkan kebaikan. Yaitu dunia pondok pesantren (khususnya warga NU), yang sudah lazim dimana institusi pendidikan tradisional ini kurikulumnya mempelajari kitab kuning dengan konsep dan definisi jihad offensive. Bahwa kemudian sampai saat ini belum ada (bahkan tidak ada) dan tidak terbukti para jaringan terorisme adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang pondok-pesantren (santri) adalah fenomena unik[7].

Kekuatan Tersembunyi

            Secara sadar, di tingkat global, upaya pelemahan terhadap Islam oleh Barat memang sedang terjadi melalui kebijakan luar negerinya yang selalu tidak menguntungkan secara politis bagi Islam. Sementara oleh kelompok radikal Islam yang tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan, menaggapi perlakuan Barat ini justru sama halnya menabuhkan genderang perlawanan melalui aksi-aksi terorisme. Jadi, dalam konteks global, sebenarnya antara kelompok Islam garis keras dengan rekayasa Barat dalam provokasi isu terorisme menemukan titik “keberhasilan”[8].

Islam dalam konteks Indonesia, pada dasarnya mempunyai karakteristik yang unik, dimana karakter ini tidak ditemukan di Timur Tengah. Dan karakteristik unik sebagaimana terefleksi dalam kehidupan beragama inilah yang sebenarnya mempunyai kekuatan potensial dalam menghadapi dinamisasi perkembangan zaman[9](Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:66). Bahkan oleh Presiden terpilih Amerika Serikat saat ini, Barrack H. Obama, Indonesia dijadikan model bagi mayarakat Timur Tengah terkait masalah demokrasi dan pluralisme dalam kehidupan bernegara-beragama dalam pidatonya di Cairo, Mesir.

Kekuatan potensial Indonesia dalam mengadapi arus globalisasi ke depan – baik dalam hal politik, ekonomi, dan sosial-budaya –, banyak diprediksikan oleh para pengamat ekonomi internasional dan hubungan internasional sebagai lima negara kuat baru (five new empowering countries)[10], khususnya bidang ekonomi. Prediksi ini tentu didukung sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, termasuk bagaimana menciptakan kehidupan beragama yang dewasa itu diwujudkan.

Sebagai agama mayoritas, Islam di Indonesia harus peka dan responsif terhadap peluang menjemput “kekuatan tersembunyi” ini. Artinya, untuk mewujudkan prediksi Indonesia sebagai salah satu dari Lima Negara Kuat Baru ke depan, dibutuhkan motivasi agama untuk membuat masyarakat lebih produktif dan berdaya. Hal ini untuk menghindarkan mereka dari pengaruh-pengaruh destruktif akan pemaknaan Jihad yang seolah hanya sebatas tindakan teror dan kekerasan.

Di sinilah kemudian oleh Almarhum Prof. Nurcholis Madjid bagaimana agama seharusnya difungsi-gunakan, bahwa ia tidak hanya terbatas pada tataran spiritual dan ritual ibadah saja, melainkan agama adalah instrumen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pemeluknya (Nurcholis Madjid, 1996: 34). Terkait bagaimana usaha mengalahkan hegemoni Barat, maka oleh Ulil Abshar Abdalla adalah usaha yang sia-sia bagi kalangan Islam garis keras dengan melakukan aksi-aksi terorisme untuk menumbangkan Barat[11].

Bahwa mengapa peradaban Barat begitu maju saat ini, tidak lain adalah etos mereka untuk mencari pengetahuan dan riset literatur sangat tinggi. Sebagaimana peradaban Islam yang pernah mengalami masa kejayaan sebelum abad pertengahan, dimana ulama-ulama klasik mempunyai pengetahuan begitu komprehensif hampir di semua bidang ilmu. Terlihat karangan-karangan kitab ulama yang dihasilkan begitu banyak dan masih relevan untuk dipelajari di pondok-pesantren sampai saat ini.

Indonesia pada dasarnya sudah mempunyai modal penting, dimana Islam ternyata compatible dengan sistem politik paling baik untuk saat ini, demokrasi (Azra, Kompas: 28/06/2000). Hal yang kemudian sangat penting adalah bagaimana tugas pemerintah untuk memberikan pemahaman terhadap umat Islam melalui bidang agama yang baik di istitusi-istitusi pendidikan, seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Selain bertujuan memberdayakan umat Islam agar mempunyai kemandirian dalam menyongsong masa depan dan mampu berdaulat secara ekonomi demi terciptanya standar kehidupan masyarakat yang lebih baik, pendidikan yang tinggi dapat merubah cara pandang seseorang lebih dewasa, lebih menghargai perbedaan, dan tidak mudah mempercayai suatu pemahaman dengan taklid buta begitu saja. Termasuk soal bagaimana jihad dan terorisme itu sebenarnya adalah hal yang tidak sama.

Itu mengapa K. H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa agama sebaiknya diposisikan sebagai inspirasi bukan aspirasi (Greg Barton, 2003: 135). Ispirasi berarti, agama menjadi pola hidup masyarakat dalam aktivitas sehari-hari dan bersifat subtantif tanpa harus menjadi tuntutan kewajiban yang harus dilegal-formalkan (konstitusi negara). 

*Essai ini terpilih dalam 30 essai terbaik LOMBA PENULISAN ESAI “ISLAM DAN TERORISME” MAHASISWA TINGKAT NASIONAL LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) OBSESI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO
2009-2010
dan dibukukan dalam Buku Antologi Esai Pemenang LOMBA CIPTA ESAI ISLAM DAN TERORISME http://www.stainpress.com/?tag=purwokerto 

DAFTAR RUJUKAN

Abdalla, Ulil Abshar. 2009. Membunuh “Tersangka” Terorisme?. UIN Syarif Hidatullah Jakarta: Diskusi Publik “Perang Global Melawan Terorisme”.

Agung Banyu Perwita, Dr. Anak. 2005. Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosdakarya.

Barton, Greg. 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Boigraphy of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKis.

Di terjemahkan dari Hasil Temu Wartawan se-Eropa. 1995. Prospek Perdamaian di Timur Tengah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Drs. Iqbal M. Ag, Muhammad. 2007. Fiqih Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Fatoni, Sutan. 2007. Peradaban Islam. Jakarta: Paramuda.

Hasan, Noorhaidi. 2009. Islam Transnasional, Salafi, dan Ancaman Terorisme di Indonesia. UIN Syarif Hidatullah Jakarta: Diskusi Publik “Perang Global Melawan Terorisme”.

Iqbal, Dr. Afzal. 2000. Diplomasi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2005. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lowi, Theodore. J, Benjamin Ginsberg, dan Kenneth A. Shepsle. 2004. American Government: Power and Purpose. New York: W.W Norton & Comoany Ltd.

Morgenthau, Hans J. 2006. Politics Among Nations: The Struggle For Power and Peace. New York: The Mc Graw-Hill Companies, Inc.

Page, Benjamin. I and Marshall M. Bouton. 2006. The Foreign Policy Disconnect: What Americans Want From Our Leaders But Don’t Get. Chicago: The University of Chicago Press.

Rashid Moten, Prof. Abdul. 1996. Political Science: An Islamic Perspective. United States: S.T Martin’s Press Ltd.

Soemardjan, Prof. Selo. 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama.

Smith, Jane. I. 2005. Islam di Amerika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama.

Tebba, Sudirman. 2004. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: KPP (Kazanah Populer Paramadina).

Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.

Volgy, Thomas. J. 2003. International Politics and State Strength. United States of America: Lynne Rienner Publishers, Inc.


[1] Dalam Studi Hubungan Internasional, posisi Amerika Serikat secara kekuatan militer disebut Uni-Lateralisme, dimana pada kondisi tertentu yang menyangkut kepentingan nasionalnya (national interest), ia tidak segan-segan melakukan aksi sepihak. Bahkan kadang bersikap Standar Ganda (double standart), sebagai contoh masalah penyebaran dan kepemilikan nuklir (Nuclear Proliferation), bahwa ketika Israel, Inggris, dan Amerika Serikat memiliki nuklir yang sudah diorientasikan pada persenjataan militer tidak dipermasalahkan, namun jika nuklir yang dimiliki Iran (atau Korea Utara) dimana hanya diorientasikan sebagai alternatif energi listrik (bukan persenjataan militer) begitu dipermasalahkan dan disuruh melucuti, bahkan diberi sanksi embargo ekonomi.

[2] Intermestik ini dipopulerkan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam hal membandingkan situasi internasional dan nasional yang saling terkait atau bahkan tidak sama sekali. (Disampaikan oleh Dr. Amiruddin Noor, MA., Dosen Mata Kuliah Organisasi Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

[3] Teori Konspirasi merupakan upaya rekayasa Barat (Amerika Serikat) untuk melakukan aksi pengeboman terhadap Menara Kembar WTC yang kemudian Al-Qaeda dijadikan “kambing hitam”-nya. Hal ini juga diorientasikan untuk menciptakan isu global baru, yaitu perang melawan terorisme. Kenyataannya, aksi pengeboman Menara Kembar WTC bagi kalangan pakar politik internasional menunjukkan banyak kejanggalan, yaitu banyaknya dokumentasi peristiwa ini yang terkesan memang sudah “direncanakan”. (Dijelaskan oleh Dr. Abdul Hadi Adnan, MA., Mantan Duta Besar Indonesia untuk India, sekarang beliau menjadi Dosen Mata Kuliah Studi Kawasan Afrika dan Timur-Tengah pada Jurusan Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

[4] Upaya kontrol Barat terhadap Islam memang mempunyai banyak cara, misalnya di kawasan Timur-Tengah. Yang paling lama adalah Politik Adu Domba terhadap Irak, Iran, Mesir, dan negara sekitar pada dekade 1960-1980an, Politik Standar Ganda atas keberadaan nuklir di Timur-Tengah, hingga tidak adanya upaya atas penyelesaian konflik Israel-Palestina

[5] Istilah “Jihadis Transnasional” dikemukakan oleh Noorhaidi Hasan, seorang Pakar Teroirsme dan Ideologi Timur-Tengah. Dalam makalahnya “Islam Transnasional, Salafi, dan Ancaman Terorisme di Indonesia”, yang dipaparkan pada acara Diskusi Publik “Perang Global Melawan Terorisme” (Kamis, 5 November 2009, Aula SC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

[6] Dimobilisasi pihak-pihak yang dipercaya memiliki kaitan dengan agen-agen intelligent Indonesia (melalui jalur Kuala Lumpur-Islamabad-Peshawar-Hekmatar [Sayyaf atau Jamil al-Rahman]). Dipaparkan pada makalah Noorhaidi Hasan, “Islam Transnasional, Salafi, dan Ancaman Terorisme di Indonesia”, Diskusi Publik “Perang Global Melawan Terorisme” (Kamis, 5 November 2009, Aula SC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

[7] Ini menunjukkan bahwa dunia pondok pesantren (Kyai dan para santri) mempunyai pola pikir yang dewasa dan bijak dalam memahami suatu permasalahan. Artinya jika memang konsep dan definisi jihad sebagaimana di literatur kitab-kitab kuning kenyataannya tidak lagi memungkinkan untuk diaplikasikan pada zaman sekarang, maka bagi mereka tidak perlu “memaksakannya”.

[8] Artinya Barat yang telah lama ingin “melemahkan” Islam namun kesulitan mencari justifikasi pembenaran oleh masyarakat internasional, maka adanya perlawanan kelompok Islam garis  keras justru membantu Barat dalam “mengesahkan” permusuhan secara vis-à-vis dengan Islam secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah “diakuinya” peristiwa 11 September sebagai perbuatan Al-Qaida – yang apabila hal ini digunakan Teori Konspirasi –, maka aksi terorisme ini justru perbuatan Barat sendiri untuk justifikasi perlawanan terhadap Islam, yang kemudian menjadi dasar invasi terhadap Afganistan dan Irak.

[9] Hal yang paling terlihat adalah, Islam di Indonesia benar-benar menghargai Pluralisme (perbedaan), baik terkait agama, ras, suku, bahasa, dan budaya. Kemudian Islam di Indonesia juga kenyataannya mampu sejalan beriringan dengan baik dengan sistem demokrasi yang hal ini tidak ditemukan pada kehidupan bernegara sekaligus beragama di Timur Tengah.

[10] Lima Negara Kuat itu antara lain China, Rusia, India, Jepang, dan Indonesia. Dijelaskan oleh Dr. Aiyub Muchsin, MA., Mantan Utusan Khusus Bidang Ekonomi-Politik Internasional perwakilan Indonesia di London, sekarang beliau menjadi Dosen Mata Kuliah Ekonomi-Politik Internasional di Jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[11] Dipaparkan sebagai pembicara pada Diskusi Publik “Perang Global Melawan Terorisme” (Kamis, 5 November 2009, Aula SC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Hanya berbekal Laptop, HP dan Telkomsel, saya dapat melakukan aktivitas berkomunikasi dan berinformasi ke mana pun tanpa batas**

Hanya berbekal Laptop, HP dan Telkomsel, saya dapat melakukan aktivitas berkomunikasi dan berinformasi ke mana pun tanpa batas**

Oleh: Moh. Fairuz Ad-Dailami

Seiring kemajuan peradaban, manusia tidak lagi merasa cukup hanya diletakkan kebutuhan primernya pada persoalan sandang, pangan, dan papan semata. Hal ini yang menjadikan kebutuhan primer manusia semakin terus bertambah dan sangat penting keberadaannya, yaitu teknologi komunikasi dan informasi di era dunia tanpa batas ini.

Teknologi komunikasi dan informasi lah menjadikan manusia memiliki dua dimensi kehidupan sekaligus, makhluk individu dan makhluk sosial. Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, kebutuhan manusia semakin dimudahkan. Maka, ketika membicarakan hubungan Indonesia dan teknologi komunikasi-informasi yang terus berkembang, ada ruang menarik jika keduanya dikaitkan dari sisi ide dan gagasan.

Sebagai sebuah gagasan, Indonesia tak ubahnya adalah peradaban yang memiliki khazanah begitu kaya memadu dari sekian ragam kebudayaan dan kemajemukan dari Sabang sampai Merauke serta kekayaan alam yang tak terukur jumlahnya. Itu mengapa tidak berlebihan jika nasionalisme Indonesia itu berada dan berkembang sepanjang ia masih dipikirkan, dialami, dan dikerjakan secara bersama oleh masyarakatnya.

Dalam konteks Hubungan Internasional dewasa ini, realitas modern dapat dipahami sebagai telah terjadinya revolusi komunikasi dan informasi secara signifikan, meningkatnya aktor non-pemerintah (masyarakat diberbagai belahan dunia), dan adanya keadaan saling-ketergantungan antara faktor domestik dan internasional hampir di semua negara.

Melihat situasi zaman yang ada dan ke depan nantinya, wajar jika ada anggapan bahwa batas antar-negara kian megabur (borderless) karena kemajuan teknologi komunikasi-informasi yang begitu pesat. Di sinilah sentralitas peran komunikasi-informasi nantinya akan sangat menentukan. Bahwa kemudian aktivitas berkomunikasi dan aksebilitas informasi tidak sekedar dipahami sebatas tegur-sapa antar warga dan aktivitas belajar pengetahuan baru saja, melainkan bagaimana kemajuan teknologi-informasi dapat menjadi ruang bagi lahirnya gagasan baru, inspirasi yang terus berkembang, dan munculnya aspirasi warga negara dalam upaya menyuarakan kepentingan nasionalnya (national interest) di mata dunia sebagai partisipasi memuliakan sekaligus pencitraan Indonesia.    

 

Gerbang Indonesia

Rasanya tidak berlebihan jika menyebut perusahaan telekomunikasi Telkomsel sekarang ini tak ubahnya seperti “gerbang”, yang skalanya memang jauh lebih besar dari sekedar sebuah “pintu”, apalagi “jendela”. Mengapa demikian? Setidaknya ada beberapa hal yang menjadikannya sangat beralasan. Berdasarkan data statistik yang ada, Bulan Maret 2009 tak kurang pelanggan Telkomsel mencapai 72,1 juta pengguna[1] (pad a tahun 2010 telah mencapai 82 juta pelanggan). Dan jumlah ini lebih dari 50% pengguna telepon seluler di Indonesia yang mencapai 116.144.392 orang[2].

Dari sini, kita semakin tahu bahwa Telkomsel pada dasarnya memiliki peran startegis dalam arus komunikasi-informasi. Belum lagi inovasi Telkomsel sebagai penyedia jasa telekomunikasi tidak hanya sebatas pada kebutuhan berkomunikasi konvensional (telepon, SMS, dan MMS) semata, melainkan fasilitasnya kian variatif, aksebilitas, dan konvergensinya sudah menyatu dengan dunia virtual (internet). Lengkap sudah rasanya jika provider Telkomsel dianggap  menjadi kunci untuk memahami dan mengelola kebutuhan manusia modern yang haus akan kecepatan dan mobilitas dengan cakupan jaringannya mencapai 95% populasi tersebar diberbagai provinsi, kota, kabupaten, dan kecamatan di Indonesia. 

Fungsi “gerbang” pada dasarnya dimaksudkan bagaimana Telkomsel sebagai penyedia jasa telekomuniasi terbesar yang konvergensinya terintegrasi pada dunia internet saat ini (dan ke depan natinya) dapat menjadi jembatan masyarakat Indonesia menjadi warga dunia yang cerdas dan berkesadaran. Data Internet World Stats menunjukkan, di kawasan Asia, sepanjang tahun 2009 Indonesia menempati ranking ke-5 pengguna internet terbanyak, yakni sekitar 25 juta orang[3]. Padahal, tingkat kepemilikan komputer hanya 2,5 juta orang. Meski internet juga diakses lewat jasa warnet (warung internet), namun bisa diasumsikan bahwa dari 25 juta orang itu, jumlah pengguna selular menyumbang jumlah yang tak sedikit. Yang mengejutkan, jauh dari perkiraan Internet World Stats, InMobi memprediksi jumlah pengguna internet selular di Indonesia pada akhir 2010 akan mencapai 146 juta orang[4].

Melihat fenomena dan fakta yang ada, hampir keseluruhan masyarakat Indonesia dalam waktu dekat dapat diprediksi bahwa tingkat persentuhan tiap-tiap orang dengan internet kian besar jumlahnya dan tidak dapat dipisahkan. Internet nantinya memang akan menjadi cara berkomunikasi yang sangat berbeda dengan berkomunikasi menggunakan telepon selular, dimana kebutuhan manusia tidak hanya ingin melakukan percakapan antar-personal, melainkan bagaimana dapat melibatkan banyak orang. Tidak heran jika akun jejaring sosial dan dunia blog pun menjadi solusi atas kebutuhan berkomunikasi dewasa ini.

 

Menjadi Bangsa yang Bermartabat Melalui Kemajuan Teknologi Komunikasi-Informasi

Telkomsel memang membuat dunia masing-masing penggunanya menjadi seolah tanpa batas. Beragam fasilitas dan program yang ditawarkan, mulai dari komunitas, musik, dan game adalah sekian kebutuhan yang menjadikan manusia seolah dapat berada dimana dan kapan saja. Kebutuhan manusia dalam berkomunikasi dan berinformasi melalui dunia maya menjadikan dunia nyata seolah begitu kecil. Aktivitas berinteraksi manusia diberbagai belahan dunia begitu mudah dan dapat dilakukan kapan pun-dimana pun. Maka, tidak heran jika batas ruang dan waktu saat ini menjadikan manusia seolah hidup di perkampungan global (global village).

Terinspirasi dari cita-cita Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Maka, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seharusnya difungsikan. Dan Telkomsel dapat menjadi “gerbang” bagi warga Indonesia untuk berpartisipasi bersama dalam mewujudkan semua ini melalui cara dan kemampuannya masing-masing.

Dunia Hubungan Internasional saat ini tidak lagi diwakili oleh elite pemerintah sebagai satu-satunya aktor internasional. Partisipasi dan aspirasi warga Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam menyuarakan keindonesiaan ke seantero jagad sangat mungkin dilakukan melalui kemajuan teknologi komunikasi-informasi (internet). Kebanggaan dan nasionalisme yang berakar dari Trisula Sumpah Pemuda 1928 (tanah air, bangsa, dan bahasa) adalah kunci penting bagi warga dalam membangun Indonesia di mata dunia.

Merujuk pada softpower dan pencapaian Indonesia dalam hal kerukunan beragama, peran Indonesia sebagai negara yang melakukan langkah-langkah penciptaan perdamaian dunia, demokrasi, penegakan HAM, dan pertumbuhan ekonomi adalah sekian cerita yang harus kita suara-lantangkan lebih keras. Belum lagi eksotisme Indonesia akan kekayaan alam dan seni-budaya nusantara yang mengundang decak kagum negara (bangsa) lain, merupakan sekian anugerah yang harus terus kita jaga, lestrarikan, dan promosikan guna eksistensi Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi.

Sejalan dengan konsep Diplomasi Publik, yaitu “suatu upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui penyebaran informasi atau mempengaruhi pendapat umum yang dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sarana dan komunikasi yang ada untuk mengurangi kesalahfahaman dan mispersepsi dan meningkatkan citra (dalam hubungan antar negara)[5], Telkomsel adalah modal penting dalam ikut menjembatani aktivitas tersebut, yang pelakunya adalah setiap warga negara Indonesia.

Apa yang hari ini dan hari esok kita butuhkan sebagai bangsa dalam  keikut-sertaan sumbangsih membangun negeri tak ubahnya berpijak pada apa yang akan kita lakukan , terutama hal-hal yang didasari atas inovasi, kreatif, kredibilitas, dan kesinambungan (continuity)[6]. Dan apa yang kita miliki selama ini dengan segala kemajemukannya justru akan menjadi suatu kekuatan jika kita mampu mengelolanya sebagaimana prinsip tersebut.

Tidak berlebihan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya mengatakan “Menjadi bangsa yg dihormati, bukan ditakuti, bangsa yg disegani, bukan dihindari, bangsa yg didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yg bernilai.” menjadi beralasan mengingat realitas modern serta kemajuan teknologi komunikasi-informasi kian terbentuk dan berkembang.  Jika media dan fasilitas pendukung sudah tersedia, mari kita siapkan diri bersama-sama menjadi manusia yang berkesadaran akan nasionalisme dan arah nasib bangsa. Membangun negeri tidak lagi terlihat seolah mimpi, namun saat ini, membangun negeri justru dimulai dari diri. Sesuatu yang paling dekat denganmu! Karena Indonesia sekarang dalam genggamanmu!


*TULISAN INI SEDANG DIIKUT-SERTAKAN DALAM  LOMBA KARYA TULIS ANUGERAH TELKOMSEL DALAM RANGKA ULANG TAHUN KE-15, KATEGORI MAHASISWA  PERIODE MEI-JUNI 2010 (TEMA: TELKOMSEL MEMBANGUN NEGERI MELALUI INOVASI SELULER)

** FOTO INI SEDANG DIIKUT-SERTAKAN LOMBA FOTO ANUGERAH TELKOMSEL DALAM RANGKA ULANG TAHUN KE-15, KATEGORI MAHASISWA  PERIODE MEI-JUNI 2010 (TEMA: INOVASI TELKOMSEL MEMBUAT DUNIAKU MENJADI TANPA BATAS)

[1] http://www.telkomsel.com/web/company_profile

[2] http://www.detikinet.com/read/2008/09/17/111659/1007664/328/pelanggan-selular-indonesia-terbesar-ke-6-di-dunia

[3] http://www.internetworldstats.com/stats3.htm

[4] http://www.indonesiantower.com/content/pelanggan-muda-dominasi-internet-selular

[5] Dr. Pribadi Sutiono, Direktorat Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri RI

[6] Dr. Hasan Wirajuda, 2006

Oleh: Moh. Fairuz Ad-Dailami*

Islam dalam konteks sejarah dunia mempunyai lintasan sejarah yang penting. Sebagai agama, ia adalah salah satu agama langit (samawi) yang paling mampu bertahan sampai saat ini selain Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Islam juga tidak hanya dibatasi pada ruang ritual dan ibadah saja, dalam cakupannya, ia memiliki ruang gerak yang menjangkau keseluruhan aktivitas alam semesta, baik menyangkut masalah hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan makhluk hidup (hewan dan lingkungan), maupun manusia dengan Tuhan.

Dalam babakan sejarah dunia, maka Islam adalah salah satu penyumbang paling penting dalam khasanah peradaban dunia yang kita kenal sampai saat ini [1]. Dalam kronologi waktu, ada tiga peradaban besar yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik dewasa ini. Ketiganya secara berurutan, yaitu, Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam dengan masing-masing sumbangan khasnya[2].

Sumbangan Islam bagi peradaban modern, khususnya politik dan konsep bernegara (tata pemerintahan) saat ini diakui atau tidak begitu banyak diterapkan, meskipun semua konsep ini diakuisi oleh Barat[3]. Jauh sebelum lahir Piagam Magna Charta pada masa renaisans dan aufklarung yang merupakan daya dobrak luar biasa sebagai bentuk perlawanan manusia atas dominasi kekuasaan Gereja (XII-XIII)[4], Islam yang berkembang pada abad ke VII telah melahirkan prinsip-prinsip bernegara sebagaimana diimplementasikan pada tata-pemerintahan modern.

Sebagaimana Magna Charta yang lahir pada Abad Pertengahan (1215) yang merupakan semacam Kontrak Sosial anatara masyarakat dengan negara (pemerintah), maka dalam Islam dikenal Piagam Madinah yang menjadi dasar penting dalam mengikat hubungan antara pemerintah (saat itu Muhammad adalah Khalifah) dengan penduduk Madinah yang begitu heterogen, tidak hanya berbagai suku, tetapi juga berbagai agama.

Magna Charta kemudian dianggap tonggak penting dalam perkembangan gagasan demokrasi selanjutnya yang dalam Islam hal ini sebenarnya telah dipraktekkan. Bahwa kematian Muhammad sebagai Khalifah pemerintahan arab saat itu bukanlah digantikan oleh anak maupun orang-orang dari kalangan keluarga beliau, melainkan kepemimpinan Rasulallah digantikan oleh Abu Bakar r.a yang bukan bagian dari keluarga beliau. Abu Bakar r.a adalah sahabat Rasulallah yang dianggap paling mampu menggantikan kepemimpinan Muhammad. Proses pergantian pemerintahan dalam sejarah Islam pertama kalinya adalah bentuk pergantian pemerintahan yang demokratis[5].

Islam dan Indonesia
Islam dan Indonesia memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sudah terjalin hubungan erat terhitung sejak abad ke VIII dimana Islam sebagai agama dibawa oleh para pedangang arab (gujarat) dalam aktivitas perniagaannya hingga ke wilayah Cina[6] yang jalur pelayarannya singgah ke Indonesia (dulu dikenal dengan sebutan Nusantara)[7].

Beberapa para pedagang arab ini kemudian menetap di Indonesia, tidak untuk melakukan aktifitas niaga, melainkan berdakwah dan meyebarkan Islam kepada penduduk pribumi. Orang-orang inilah yang kemudian bersama beberapa orang pribumi yang telah masuk Islam dan menjadi pengikutnya dikenal sebagai tokoh penting dalam proses Islamisasi di Indonesia. Mereka dikenal dengan Wali Sanga dan berhasil mengajak raja-raja di wilayah Nusantara, khususnya Jawa untuk memeluk agama Islam.

Ada hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses peralihan keagamaan di Indonesia. Yaitu para Wali Sanga ini mempunyai pendekatan yang jauh dari kekerasan dalam mengajak penduduk pribumi memeluk agama Islam[8]. Mereka dalam meyebarkan agama melaui akulturisasi dengan mengadopsi kebudayaan yang sudah ada mapun pendekatan-pendekatan budaya lainnya[9].

Sejarah inilah yang ke depan nantinya menjadi karakter keberagamaan di Indonesia yang dalam kebijakan luar negerinya dikenal dengan istilah “Islam Moderat”. Islam Moderat ini mengacu pada sikap dan karakter agama Islam oleh para pemeluknya (muslim) yang berbeda dengan karakter Islam di Timur Tengah. Ada nilai-nilai fundamental dan penting yang menjadi dasar dari karakter Islam Moderat itu sendiri[10].

Karakteristik yang unik sebagaimana dikemukakan oleh Azyumadi Azra terhadap Islam di Indonesia adalah kemampuan sejalan dengan sistem demokrasi dan akomodatif dengan keberagaman (pluralitas). Kemudian wajah Islam di Indonesia pun mempunyai karakter dengan mengedepankan sikap fleksibel terhadap perkembangan zaman yang selalu dinamis. Ia tidak kaku pada aturan yang ada. Oleh Abdurrahman Wahid, Islam di Indonesia lebih bercorak subtantif daripada formatif. Artinya nilai-nilai dalam Islam benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari meskipun tidak harus di legal-formalkan dalam bentuk peraturan undang-undang negara (konstitusi).

Islam dan Dunia
Islam dan Dunia yang digambarkan saat ini memang diakui atau tidak telah mengalami peminggiran dalam kancah internasional. Potensi dan peran Islam dalam mewarnai lalu-lintas hubungan internasional yang meliputi wilayah politik, ekonomi, dan sosial-keagamaan masyarakat dunia telah (di)reduksi oleh kekuatan-kekuatan hegemoni.

Misalnya mengenai isu terorisme, betapa Islam secara general “dianggap” sebagai agama sumber kekerasan. Bahwa Pasca berakhirnya Perang Dingin di penghujung tahun1990-an, antara Liberalis dengan Sosialis-Komunis (Amerika Serikat dan Uni Soviet) dapat dibilang Amerika Serikat lah pemengangnya. Kekuasan dunia yang sebelumnya berpola Bipolar berubah menjadi Unipolar[11] dengan Amerika Serikat sebagai Adidaya tunggal tak terkalahkan oleh negara manapun.

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat mengalami perubahan drastis pasca tragedi 11 September 2001 atas aksi pengeboman yang terjadi di Menara Kembar WTC, dan mereka yakin hal ini dilakukan oleh para teroris. Baginya tragedi ini merupakan pukulan telak bagi Supremasi Adidaya, yang kemudian memicu Foreign Policy-nya untuk mengkampanyekan perang melawan terorisme.

Yang menyedihkan adalah, menurut Barat, aksi terorisme ini dilakukan oleh umat Islam[12]. Padahal rekayasa Barat dalam memprovokasi opini dunia menggunakan isu perang melawan terorisme adalah taktik Barat sendiri jika peristiwa 11/9 WTC itu dilihat menggunakan Teori Konspirasi[13]. Hasilnya, Barat telah mengantongi legitimasi dalam membuka pintu permusuhannya terhadap Islam. Tampaknya Barat selama ini cukup berhasil dalam membangun opini politik internasional, yang intinya Islam adalah musuh bersama dan agama sumber kekerasan. Amerika Serikat sebagai polisi dunia kemudian merasa berhak mengontrol Islam dengan banyak cara[14] dalam upaya pelemahan kekuatan Islam.

Secara sadar, di tingkat global, upaya pelemahan terhadap Islam oleh Barat memang sedang terjadi melalui kebijakan luar negerinya yang selalu tidak menguntungkan secara politis bagi Islam. Sementara oleh kelompok radikal Islam yang tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan, menaggapi perlakuan Barat ini justru sama halnya menabuhkan genderang perlawanan melalui aksi-aksi terorisme. Jadi, dalam konteks global, sebenarnya antara kelompok Islam garis keras dengan rekayasa Barat dalam provokasi isu terorisme menemukan titik “keberhasilan”[15].

Islam dalam konteks Indonesia, pada dasarnya mempunyai karakteristik yang unik[16], dimana karakter ini tidak ditemukan di Timur Tengah. Dan karakteristik unik sebagaimana terefleksi dalam kehidupan beragama inilah yang sebenarnya mempunyai kekuatan potensial dalam menghadapi dinamisasi perkembangan zaman[17] (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:66). Bahkan oleh Presiden terpilih Amerika Serikat saat ini, Barrack H. Obama, Indonesia dijadikan model bagi mayarakat Timur Tengah terkait masalah demokrasi dan pluralisme dalam kehidupan bernegara-beragama dalam pidatonya di Cairo, Mesir.

Kekuatan potensial Indonesia dalam mengadapi arus globalisasi ke depan – baik dalam hal politik, ekonomi, dan sosial-budaya –, banyak diprediksikan oleh para pengamat ekonomi internasional dan hubungan internasional sebagai lima negara kuat baru (five new empowering countries)[18], khususnya bidang ekonomi. Prediksi ini tentu didukung sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, termasuk bagaimana menciptakan kehidupan beragama yang dewasa itu diwujudkan.

Sebagai agama mayoritas, Islam di Indonesia harus peka dan responsif terhadap peluang menjemput “kekuatan tersembunyi” ini. Artinya, untuk mewujudkan prediksi Indonesia sebagai salah satu dari Lima Negara Kuat Baru ke depan, dibutuhkan motivasi agama untuk membuat masyarakat lebih produktif dan berdaya. Hal ini untuk menghindarkan mereka dari pengaruh-pengaruh destruktif akan pemaknaan Jihad yang seolah hanya sebatas tindakan teror dan kekerasan.

Di sinilah kemudian oleh Almarhum Prof. Nurcholis Madjid bagaimana agama seharusnya difungsi-gunakan, bahwa ia tidak hanya terbatas pada tataran spiritual dan ritual ibadah saja, melainkan agama adalah instrumen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pemeluknya.

7 Desember 2009
Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN Syarif Hidatullah Jakarta

*Mahasiswa Hubungan Internasional
Disampaikan dalam acara Forum Diskusi Ilmiah FKMHI Korwil II (Jabodetabek)
(Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia)

[1]Fakta membuktikan, Islam mempunyai lintasan penting dalam sejarah Dunia. Sebelum abad pertengahan, Islam telah mempunyai peradaban yang sangat maju pada masanya. Meskipun hal itu kemudian terpaksa diwariskan kepada Barat (Eropa) akibat kekalahannya dalam Perang Salib (Suhelmi, 2007:230). Keyayaan ilmu pengetahuan warisan ini pun dimanfaatkan dengan baik oleh Barat yang dalam perjalanan waktunya diakuisisi sampai sekarang, bahwa hanya dari Barat-lah ilmu-ilmu itu dilahirkan.

[2]Abdul Rasyid Moten, Political Science: An Islamic Prespective, (London: Macmillan Press Ltd, 1996) hal. 82

[3]Arnorld Toynbee mengatakan, peradadaban Judeo-Kristiani yang berkembang awal abad XII-XIII dianggap tidak terlalu memberikan sumbangan berarti bagi ”Dunia Barat” dewasa ini, karena apa yang kita lihat terhadap peradaban Barat modern sekarang merupakan kelanjutan dari keinginan untuk menghidupkan kembali dan pengulangan pandangan hidup orang-orang Yunani yang telah ada ribuan tahun lalu. Seperti cita-cita kebebasan, optimisme, sekulerisme, dan tradisi kehidupan beragama-bernegara sebagai entitas yang berbeda.

[4]Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-27, Juni 2005) hlm. 54

[5]Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, (Jakarta: Logos, Cet. I, Maret 1999) Hlm. 58

[6]Bukti bahwa masyarakat Timur Tengah melakukan aktivitas perniagaannya sampai ke wilayah Cina adalah dengan adanya Hadist Rasulallah yang mengatakan “ carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.

[7]Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, Cet. 2, Agustus 2005) Hlm. 250

[8]Cara-cara ini dalam konteks hubungan internasional dikenal dengan penggunaan Soft Power.

[9]Dalam konteks budaya, para Wali Sanga mereformasi adat dan kebiasaan yang sudah ada dengan wajah Islam. Misalnya ritual mendoakan orang yang sudah meninggal dengan upacara 7 hari setelah meninggal, 40 hari dan 1000 hari yang sebelumnya hal ini merupakan adat budaya agama Hindu. Namun setelah Islam dating, hal ini diganti dengan ritual tahlil dan pembacaan Surat Yasin. Kemudian oleh Sunan Kalijaga menggunakan kebudayaan Wayang sebagai alat berdakwah, dan Sunan Bonang menggunakan gamelan (bonang) juga sarana alat menyebarkan agama Islam.

[10]Dr. H. Tarmizi Taher, Menuju Umamatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia, (Jakarta: PPIM, Cet. 2, 1988) hlm. 30

[11]Setelah musuh berat (Uni Soviet) Amerika Serikat tumbang, hal ini tidak serta-merta menghilangkan naluri negara Adidaya untuk selalu mencari permusuhan. Kekalahan Uni Soviet menjadikan Amerika Serikat mengalami disorientasi (buta arah) dalam pencarian seteru mana yang sekuat Uni Soviet untuk dijadikan lawan berikutnya. Islam di mata Barat merupakan lawan berikutnya yang dalam akar sejarah sebelumnya memang telah terjadi “persinggungan”.

[12]Terkait masalah jaringan terorisme internasional, faktanya para pelaku maupun sel jaringan terorisme yang ada di Indonesia merupakan mantan veteran Jihadis Transnasional di Taliban. Kelompok yang dikenal Al-Qaeda selama ini, sejarahnya dibentuk oleh Amerika Serikat dalam kepentingannya membantu melawan Uni Soviet pada masa Perang Dingin.

[13]Teori Konspirasi merupakan upaya rekayasa Barat (Amerika Serikat) untuk melakukan aksi pengeboman terhadap Menara Kembar WTC yang kemudian Al-Qaeda dijadikan “kambing hitam”-nya. Hal ini juga diorientasikan untuk menciptakan isu global baru, yaitu perang melawan terorisme. Kenyataannya, aksi pengeboman Menara Kembar WTC bagi kalangan pakar politik internasional menunjukkan banyak kejanggalan, yaitu banyaknya dokumentasi peristiwa ini yang terkesan memang sudah “direncanakan”. (Dijelaskan oleh Dr. Abdul Hadi Adnan, MA., Mantan Duta Besar Indonesia untuk India, sekarang beliau menjadi Dosen Mata Kuliah Studi Kawasan Afrika dan Timur-Tengah pada Jurusan Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

[14]Upaya kontrol Barat terhadap Islam memang mempunyai banyak cara, misalnya di kawasan Timur-Tengah. Yang paling lama adalah Politik Adu Domba terhadap Irak, Iran, Mesir, dan negara sekitar pada dekade 1960-1980an, Politik Standar Ganda atas keberadaan nuklir di Timur-Tengah, hingga tidak adanya upaya atas penyelesaian konflik Israel-Palestina

[15]Artinya Barat yang telah lama ingin “melemahkan” Islam namun kesulitan mencari justifikasi pembenaran oleh masyarakat internasional, maka adanya perlawanan kelompok Islam garis keras justru membantu Barat dalam “mengesahkan” permusuhan secara vis-à-vis dengan Islam secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah “diakuinya” peristiwa 11 September sebagai perbuatan Al-Qaida – yang apabila hal ini digunakan Teori Konspirasi –, maka aksi terorisme ini justru perbuatan Barat sendiri untuk justifikasi perlawanan terhadap Islam, yang kemudian menjadi dasar invasi terhadap Afganistan dan Irak.

[15]Menurut Ulil Abshar Abdalla, konsep dan definisi jihad yang ada di hampir semua literatur kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan bahkan dalil-dalil ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa jihad adalah tindakan yang bersifat kekerasan (offensive) atau pembunuhan (al-qital). Ini yang menjadi dasar kuat bagi kelompok Islam radikal untuk membenarkan tindakan mereka sekalipun bertentangan dengan norma dan hak asasi manusia (terorisme). Namun, apa yang terjadi di Indonesia, oleh Ulil Abshar Abdalla justru menurutnya terdapat keanehan yang menunjukkan kebaikan. Yaitu dunia pondok pesantren (khususnya warga NU), yang sudah lazim dimana institusi pendidikan tradisional ini kurikulumnya mempelajari kitab kuning dengan konsep dan definisi jihad offensive. Bahwa kemudian sampai saat ini belum ada (bahkan tidak ada) dan tidak terbukti para jaringan terorisme adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang pondok-pesantren (santri) adalah fenomena unik.

[16]Hal yang paling terlihat adalah, Islam di Indonesia benar-benar menghargai Pluralisme (perbedaan), baik terkait agama, ras, suku, bahasa, dan budaya. Kemudian Islam di Indonesia juga kenyataannya mampu sejalan beriringan dengan baik dengan sistem demokrasi yang hal ini tidak ditemukan pada kehidupan bernegara sekaligus beragama di Timur Tengah.

[17]Lima Negara Kuat itu antara lain China, German, India, Brazil, dan Indonesia. Dijelaskan oleh Dr. Aiyub Muchsin, MA., Mantan Utusan Khusus Bidang Ekonomi-Politik Internasional perwakilan Indonesia di London, sekarang beliau menjadi Dosen Mata Kuliah Ekonomi-Politik Internasional di Jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Oleh: Moh Fairuz Ad-Dailami

Hamas adalah faksi politik terbesar di Palestina yang kuat akan doktrin perangnya, lebih-lebih menyangkut masalah ideolegis terhadap suatu kebenaran yang mereka yakini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina sedikit banyak terkait oleh faksi politik ini.

Sementara Israel juga tidak jauh beda, bahwa menganggap masyarakat Palestina tak ubahnya seperti “musuh abadi” sebagaimana mereka yakini dalam kitab suci. Cara berfikir masing-masing pihak seperti inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah tidak dapat dihindari.

Untuk mengetahui seberapa sering konflik di Timur Tengah itu akan terjadi, maka mau tidak mau kita harus mengenal karakter masyarakat yang bersangkutan. Itu mengapa konflik Israel dan Palestina seolah sulit untuk dicarikan solusi terangnya, bahkan jalan perang pun akan ditempuh selama menyangkut kebenaran masing-masing pihak yakini.

Kenyataannya, faksi politik Hamas yang “seradikal” itu justru mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat Palestina. Bahkan menurut survey, masyarakat Palestina dalam prosesi pemilunya secara mengejutkan 80 persen dari total suara yang masuk semuanya mendukung Hamas.

Aspirasi masyarakat terhadap suatu kelompok faksi politik merupakan sebuah dukungan sekaligus penggambaran karakter suatu masyarakat itu. Jadi, kelompok Hamas yang “suka perang” dan jauh dari cara-cara diplomasi itu, secara tidak langsung merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang ada. Dan semua bentuk “pertarungan” ini tidak lain demi kepentingan nasional masing-masing negara.

Kepentingan Nasional
Bagaimana menegetahui kepentingan nasional (national interest) suatu negara, dalam studi hubungan internasional sendiri ada beberapa pendekatan. Diantaranya adalah tergantung posisi pengamat untuk meletakkan cara pandangnya memilih neo-relisme atau neo-liberalsme.

Dua teori ini adalah sama-sama relevannya sampai saat ini untuk memetakan perilaku suatu negara dan juga kebijakan politik luar negerinya. Semuanya ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional negara masing-masing. Itu mengapa, kedua teori ini dalam dialektikanya banyak melahirkan kritik keras satu sama lain.

Penyerangan Israel ke Palestina tanpa jalur neoisasi merupakan pendekatan militeristik yang digunakan oleh kaum neo-realisme dalam upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil Israel terkait masalah kepentinagan nasional. Hal ini tidak jauh beda dengan perilaku Pelestina itu sendiri dengan kelompok faksi Hamasnya. Jadi, pada dasarnya antara Palestina dan Israel sama-sama menggunakan cara pandang yang doktrinnya jauh dari kata “damai” dan upaya diplomasi itu.

Bagaimana mungkin negosiasi antara dua negara itu dapat terwujud untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-bangsa yang damai, jika masyarakatnya sendiri mempunyai karakter yang sulit untuk didamaikan. Belum lagi masalah ini semakin diperkeruh dengan sentimen ideologi (agama) maupun “dendam lama” yang selalu mewarnai mind-set masyarakat kedua negara yang saling bertikai itu.

Jadi, lengkaplah konflik ini akan berkelanjutan sampai salah satu di antara mereka benar-benar ada yang lumpuh, tumbang, dan kalah. Dan ini adalah harga mahal yang harus dibayar, khususnya bagi masyarakat sipil yang secara tidak langsung “dilibatkan” pada peperangan antar neraga tersebut.

PBB selaku badan dunia yang merupakan peng-ejawantahan dari Institusional Liberalism dari konsepsi neo-liberalisme sebagai penjaga keamanan dunia pun kenyataannya tidak sesuai apa yang digariskan. Tetap saja akan kesulitan mencari resolusi seperti apa bagi keduanya yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebagus apapun rancangan resolusi yang ditawarkan, hal itu akan menjadi tidak efektif dan berfungsi guna ketika dihadapkan pada karakter masyarakat yang disebut Gus Dur (K.H Abdurrahman Wahid) adalah masyarakat “konservatif” dan realis itu.

Perang dan damai adalah dua hal yang memang benar adanya, namun seberapa besar dari salah satu mana yang akan mendominasi tergantung masyarakat dalam cara berfikirnya. Adalah bagaimna tetap mempertahankan kepentingan nasional namun dengan cara yang damai dan pendekatan yang manusiawi merupakan jalan efektif untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-negara yang damai.

Impian Umat Manusia
Tampaknya untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama dalam konteks pergaulan antar-bangsa yang aman dan damai memerlukan gelombang kesadaran yang besar oleh semua lapisan masyarakat dunia. Mereka harus sadar bahwa dalam hirarki paling tinggi terkait bagian dari masyarakat internasional, kesatuan frame dalam paradigma bahwa tiap-tiap individu merupakan hubungan persaudaran yang terikat meskipun lintas benua, agama, ras, suku, entis, dan bahasa adalah kunci mewujudkan cita-cita manusia yang berkeadaban.

Mungkin kedengarannya terlalu utopis sebagaimana kaum liberalis. Namun cara berfikir apa lagi yang mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang harmonis selain pendekatan di atas? Adalah suatu kebenaran bahwa fitrah manusia merindukan suasana kehidupan surga dan bagaimana menghadirkannya ke dunia sebagai impian seluruh umat manusia sebagaimana fungsi guna tertinggi dalam kehidupan beragama (QS: Al-Hujarat, 13).

*Harian Umum Nasional Pelita, http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10073

Judul Buku : Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema
Penulis : Jill Steans dan Lloyd Pettiford
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : xviii + 500 halaman

Laju perubahan “tatanan dunia” mengakibatkan makin berkembangnya cakupan kajian Hubungan Internasional. Keadaan ini menuntut kita mempertanyakan kembali cara kita dalam memahami sebuah dunia yang makin kompleks.

Dalam perspektif dan tema, Hubungan Internasional menunjukkan dinamisasi yang cepat. Apalagi terkait soal teori dan kronologi waktu yang ada, hubungan antar-teori (antar-perspektif) sifatnya saling kritik satu sama lain.

Di mulai tahun 1920-an sebagai titik poin mulai berkembangnya studi Hubungan Internasional, kaum liberalis dengan perspektifnya mengkritik kondisi politik internasional yang oleh kaum realis menganggap dunia tidak dapat dilepaskan dari sifat dasarnya, yaitu anarkhis.

Hal tersebut pun berusaha dibuktikan oleh kaum liberalis yang berangkat dari bidang ekonomi bahwa dunia ini dapat didamaikan lewat kerjasama dan perdagangan. LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dibentuk sebagai penjaga perdaimaian dunia sekaligus bentuk antisipasi bahwa PD I yang terjadi tahun 1914 tidak akan terulang kembali.

Namun kenytaannya hal ini dimentahkan kemabali oleh kaum realis dengan meledaknya PD II tahun 1934-1945 yang membenarkan bahwa dunia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peperangan (anarkhi). Bahkan rentang waktunya jauh lebih lama dari PD I sebelumnya. Selanjutnya dua perspektif ini saling serang sampai tahun 1960-an yang saat itu juga bermunculan perspektif-perspektif baru.

Sebut saja Marxisme, ia hadir sebagai perlawanan terhadap Barat yang membentuk konstalasi politik internasional bersifat unipolar sebelumnya. Oposisi ini pun cukup berhasil dengan berubahnya unipolar menjadi bipolar yang dikenal dengan situasi Perang Dingin sampai penghujung tahun 1990-an. Marxisme juga dalam perlawanannya mengkritik Barat yang cenderung inkosistensi dan bermuka dua, yaitu secara bersamaan menggunakan dua perspektif yang saling kontra-posisi (realis dan liberalis) selain juga paham kapitalis sebagai simbol perlawanan terhadap kaum borjuis.

Pertengahan abad 20 saat itu juga banyak perspektif bermunculan dari dunia akademis terkait konsepsi ilmu pengetahuan. Behavioralis dan Positivis, ilmu pengetahuan pasti (eksakta) mulai menunjukkan kemajuan pesatnya saat itu. Bahwa ilmiah atau tidaknya suatu disiplin ilmu, sebagai indikatornya adalah seberapa mampu ia diilmu-hitungkan dengan formula atau teori yang ada. Titik poin inilah yang kemudian dijadikan reformasi bagi perspektif-perspektif klasik sebelumnya (realis, liberalis, marxis) dengan melakukan perubahan menjadi Neo-Realis, Neo-Liberalis, dan Neo-Marxis sebagai disiplin ilmu sosial yang lebih ilmiah dan tidak terkesan utopis.

Sementara itu, perspektif Strukturalis dan Teori Kritis mulai menunjukkan kehadirannya seiring semakin rumitnya permasalahan yang dihadapi manusia. Dua perspektif ini merupakan pengembangan ulang dari gagasan Karl Marx akan ketidak-mampuan sistem internasional (liberalis-kapitalis) dalam menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Bagi Teori Kritis, ia mempunyai daya tarung yang cukup luas, karena dalam gagasannya ia mengkritik semua teori dan perspektif HI yang telah mapan sebelumnya.

Tampaknya perspektif Posmodernisme mempunyai hutang budi dengan Teori Kritis yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Mazdab Frankfurt (Frankfurt School). Berkat tingkat kepekaan yang dimiliki oleh perspektif Teori Kritis dalam melihat situasi global, perspektif Posmodernisme pun kemudian lahir dengan lebih berani menyuarakan tentang kebebasan dalam arti hilangnya kesenjangan dan persamaan hak (emansipatoris). Posmodernisme tak ubahnya seperti kunci yang membuka pintu gerbang untuk merangsang lahirnya perspektif-perspektif baru dalam studi HI, tidak heran jika kemudian setelah ini perspektif yang ada dalam HI semakin berwarna dan luas cakupannya.

Sebagai contoh adalah gerakan Feminisme dan Politik Hijau (Green Thought). Feminisme hadir untuk menjawab sistem internasional yang terlalu patriarkis, menghilangkan tingkat kesenjangan yang dialami kaum perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya. Bahwa kaum perempuan masih hidup dalam ketidak-adilan dan minimnya keterlibatan perempuan di ruang publik adalah wacana yang terus diperjuangkan oleh perspektif emansipasi ini.

Ketika kesadaran manusia mulai tumbuh akan ancaman alam karena terlalu banyaknya degradasi lingkungan, perspektif Green Thougth hadir berangkat dari rasa kepedulian akan kelangsungan makhluk hidup dan bagaimana seharusnya pergaulan manusia dengan alam sekitar itu terbentuk. Gerakan hemat energi, penggunaan alat-alat ramah lingkungan, dan mengurangi eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan merupakan kampanye yang terus didengungkan oleh Green Thought.

Buku ini cukup komprehensif dalam mengulas perdebatan antar-perspektif yang ada dalam studi HI. Mulai dari perspektif klasik hingga kontemporer menunjukkan kelengkapan materi meskipun miskin istilah sebagaimana versi aslinya.

Untuk kedepan, diharapkan studi HI akan dipenuhi dengan perspektif yang lebih humanis dan dapat berfungsi guna bagi kelangsungan hidup manusia. Bahwa apapun yang ada dalam studi HI diharapkan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat luas untuk menegasikan stigma “ilmu wacana”, atau setidaknya menjadi cara pandang masyarakat dunia untuk dapat lebih bersikap arif dan bijak. Sehingga dari sini dapat tercipta gelombang kesadaran dengan mengedepankan rasa kebersamaan dan saling memiliki antar-subjektifitas satu dengan lain tanpa terhalang oleh batas negara, suku, ras, budaya, dan agama untuk membentuk tata kehidupan lebih manusiawi.

*Peresensi Moh. Fairuz Ad-Dailami, Resensi Seputar Indonesia, 24 Mei 2009

Penulis : Gugun El-Guyanie, Dkk.
Penerbit : Obsesi Press dan Grafindo Litera Media
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : xii + 316 halaman
Harga : 40.000

Hubungan Agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya beragama dan bernegara. Hubungan agama dan negara dalam perjalanannya tentu tidak dapat lepas dari pengaruh warisan budaya maupun peradaban yang membentuknya.

Dalam kronologi waktu, ada tiga peradaban besar yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik dewasa ini. Ketiganya secara berurutan yaitu Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam dengan masing-masing sumbangan khasnya. Peradaban Judeo-Kristiani dan Islam tidak lebih dari penerus tongkat estafet yang telah diberikan oleh induk peradaban dunia (Yunani-Romawi) sebelumnya terkait tradisi pemikiran politik.

Arnorld Toynbee seorang pakar sejarah dunia mengatakan bahwa Peradadaban Judeo-Kristiani yang berkembang awal abad XII-XIII dianggap tidak terlalu memberikan sumbangan berarti bagi apa yang disebut ”Dunia Barat” dewasa ini, karena apa yang kita lihat terhadap peradaban Barat Modern sekarang merupakan kelanjutan dari keinginan untuk menghidupkan kembali dan pengulangan pandangan hidup orang-orang Yunani yang telah ada ribuan tahun lalu. Seperti cita-cita kebebasan, optimisme, sekulerisme, dan tradisi kehidupan beragama-bernegara sebagai entitas yang berbeda. Sementara peradaban Islam tampak tidak begitu mampu mewarnai dan berkontribusi banyak terhadap wajah sisitem politik dunia, karena memang ada usaha-usaha untuk meminggirkannya dari percaturan politik internasional.

Konsep Sekulerisme
Konsep sekuler niscaya lahir dari Barat agaknya tepat dikarenakan konflik sejarah antagonistik (pertentangan) yang membidaninya. Hubungan agama dan negara memang mempunyai sejarah yang tidak harmonis, hal ini terjadi pada abad pertengahan.

Piagam Magna Charta pada masa renaissance dan aufklarung merupakan daya dobrak luar biasa sebagai bentuk perlawanan manusia atas dominasi kekeuasaan gereja yang dianggap berlebihan. Abad inilah yang melahirkan pemberontakan terhadap gereja untuk kemudian memunculkan kebebasan intelektual (berfikir) dan beragama sebagai wawasan baru dalam dimensi hubungan antara agama dengan negara secara moralitas.

Sebelumnya, apa yang melatar-belakangi masyarakat Barat untuk berfikir bahwa praktek kehidupan bernegara harus lepas sepenuhnya dari gereja (sekuler) adalah trauma sejarah pahit. Bahwa seperti kebebasan berfikir maupun bentuk-bentuk pemikiran ilmiah yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dan Alkitab dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan (buku-buku) dan menyiksa atau membunuh para ilmuan.

Gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi untuk menghadapi kaum cendekiawan dan pelopor ilmu pengetahuan. Bukan adu argumentasi ilmiah yang digunakan untuk menghadapi kaum cendekiawan dan para ilmuan, melainkan cara-cara koersif, kekerasan, dan kekejaman dengan membakar hidup-hidup atau menyiksa sampai mati.

Namun pada akhirnya konsepsi yang bersifat rasionalisme, empirisme, dan humanisme yang diperjuangkan oleh Galilei, Copernicus, Kepler, Weitzman, Bruno, Sarvanolla serta yang lainnya ternyata mampu mengalahkan dogma dan doktrin gereja.

Semenjak era ini, agama (gereja) mulai dijauhi oleh fisafat dan ilmu pengetahuan beserta kaum cendekiawannya. Semakin jauhnya ilmu pengetahuan dengan agama, hingga keduanya sulit untuk dipertemukan. Kemudian bentuk perlawanan ini diteruskan oleh kaum cendekiawan abad renaissance seperti Darwin, Marx, Spinoza, Voltaire, Freud, dan lainnya yang semakin memperlebar jurang pemisah antara agama dan negara.

Tidak heran jika kemudian konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan umumnya bertolak belakang dengan ajaran doktrin-doktrin gereja, seperti teori evolusi Darwin yang menolak keras doktrin Kreasionisme ajaran kitab suci dan gereja maupun paham komunisnya Marx yang menagggap bahwa agama adalah candu.

Konsep Integralistik
Apa yang terjadi di Barat mungkin akan sangat berbeda dengan apa yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran politik dalam Islam. Sebagaimana kita tahu bahwa Muhammad selain menjadi pemimpin agama, ia juga menjadi kepala negara (Madinah). Ini kemudian yang membentuk persepsi masyarakat Timur Tengah mengenai sosok seorang Muhammad adalah manusia sempurna, dimana ia tidak hanya mengetahui masalah ukhrawi dalam konteks agama, tetapi juga masalah duniawi melalui praktek bernegara.

Integralistik di sini bukan dipahami seperti apa yang telah dikonsepsikan Hegel mengenai negara yang berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan, karena itu bukan negara yang harus mengabdi pada rakyat melainkan sebaliknya. Integralistik ini juga berbeda dengan apa yang dikonsepsikan Prof. Soepomo berdasarkan premis bahwa kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas, maksudnya negara tidak boleh berpihak pada kelompok terkuat atau mayoritas dan menindas kelompok yang lemah dan minoritas, tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun dalam kehidupan bernegara (Baca:Pemikiran Politik Barat).

Hubungan agama dan negara dalam tradisi pemikiran politik Islam tidak begitu banyak mempunyai trauma sejarah yang pahit seperti di Barat, dan kalaupun ada sifatnya apologis. Peran sentral Muhammad dalam praktek beragama sekaligus bernegara yang secara tidak tegas memisahkan satu sama lain, mewariskan praktek tradisi berpolitik yang berbeda dengan tradisi berpolitik di Barat.

Pasca wafatnya Muhammad, masyarakat setempat yang tergabung dalam ummat sempat merasakan kesulitan dan mengalami perdebatan dalam menjalani proses transisi terkait masalah siapa yang berhak menggantikannya, karena cara dan aturan dalam transisi pergantian kekuasaan tidak diwariskan Islam secara jelas.

Akibatnya, apa yang dilakukan Muhammad semasa hidupnya terkait praktek bernegara menjadi satu-satunya referensi bagi umat berikutnya dalam konteks yang sama. Konsep Imamah yang lahir setelah meninggalnya Muhammad dan pasca pemerintahan Khulafa’ Rasyidin adalah nama lain dari Paradigma Integralistik, yaitu agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsepsi seperti ini yang kemudian membingkai model pemerintahan baru dan praktik bernegara lahir dari dunia Islam. (Pemikiran Politik Islam, 2006)

Jalan Baru: Sinergi Agama dan Negara
Tampaknya hubungan kekuasaan yang terefleksi dalam bentuk negara maupun pemerintahan dengan agama mempunyai karakter yang berbeda dalam trdisi pemikiran politiknya. Hal ini jelas terlihat dari uraian sebelumnya, dimana apa yang terjadi di Barat seolah kontradiksi dengan keadaan masyarakat di Timur Tengah dari latar belakang yang tidak sama.

Islam oleh prespektif Barat dalam konteks kekuasaan (negara) dan agama digambarkan mempunyai corak Teokrasi yang selalu dekat dengan sistem monarki dan perilaku otoriter adalah cara pandang yang tidak sepenuhnya benar dan bersifat parsial. Islam dengan bentuk pemerintahannya (Khilafah) memang mengalami penyimpangan pasca berakhirnya Khulafa’ Rasyidin dan dimulainya Dinasti Mu’awiyah (konsep Imamah atau intgralistik)sampai seterusnya yang mewariskan pemerintahan secara turun-temurun selama berabad-abad. Ini yang digunakan oleh Barat sebagai propaganda menciptakan wacana internasional bahwa Islam adalah agama yang tidak mampu berjalan secara harmonis dengan sistem demokrasi.

Mungkin Barat memang tidak mau mengakui keunggulan peradaban Islam terkait masalah bagaimana menciptakan konstruksi tatanan masyarakat dan praktik bernegara yang sangat luar biasa pada zamannya. Ada sisi lain yang menegaskan bahwa peradaban Islam lebih maju daripada Barat. Misalnya Barat menciptakan negara lebih dulu baru kemudian disusul bangsa (nation-state), tidak heran jika proses menuju ini adalah akibat dari situasi masyarakat yang kacau (cheaos) pada abad pertengahan saat itu. Rakyat yang berdaulat (demos dan kratos) pun akhirnya muncul sebagai sebuah bentuk pemberontakan dan kemudian menjadi landasan dasar atas konsepsi sistem pemerintahan yang konon paling baik sampai saat ini, padahal konsepsi ini adalah buah dari kekejaman dominasi gereja dan otoriterianisme kerajaan yang feodal terhadap masyarakat Eropa kelas bawah.

Demokrasi tersirat dalam Islam melaui praktek bernegara oleh Muhammad di kota Madinah yang dilakukan lebih cerdas dan visioner. Jika Barat dikenal dengan nation-state-nya, maka dalam Islam state-nation justru menjadi corak utama latar belakang terciptanya sebuah negara. Muhammad melalui fungsi profetik-nya (kenabian) menciptakan tatanan masyarakat berbasis teologis yang terkait erat dengan ketaatan. Hal ini terlihat dari awal dakwahnya pada waktu berada di Mekkah dengan ajakan monoteisme (tauhid), lalu hijrah ke Madinah bersana umat yang telah kuat aqidahnya. Baru setelah itu masyarakat dikenalkan masalah hukum, mu’amalah, praktik bernegara, dan regulasi kekuasaan (Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, Maret 1999).

Jadi, jelas bahwa Islam dalam sejarahnya telah menciptakan konsepsi demokrasi. Perbedaan terlihat pada prosesnya, bahwa di Barat demokrasi tersimbolkan oleh kedaulatan yang dilahirkan dari kondisi masyarakat kacau dan tertindas, maka dalam Islam demokrasi lahir dari sebuah bentuk ketaatan yang perjalanannya terlalui dalam keadaan masyarakat yang relatif damai.

Dalam Islam, agama benar-benar mempunyai fungsi guna sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Majid bahwa ia tidak hanya dikhususkan pada masalah ukhrawi, tetapi juga duniawi. Dan masalah duniawi ini termasuk juga wilayah politik maupun kekuasaan. Apa yang dipraktikkan oleh Muhammad terkait masalah hubungan kekuasaan dan agama berlangsung dengan harmonis.

Betapa agama tidak sepenuhnya dipinggirkan dalam kehidupan bernegara sebagaimana di Barat (Sekuler). Justru ada keuntungan lebih ketika agama dilibatkan dalam proses pengaturan kekuasaan, bahwa akan tercipta kondisi yang lebih stabil dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena masyarakat yang mempunyai latar belakang keberagamaan yang kuat akan mendewasakan perilaku politik dengan bentuk ketaatan dan kepercayaan kepada pemempinnya selama tidak melakukan penyimpangan. Sementara seorang pemimpin yang beragama, ia tidak hanya memandang bahwa tugas untuk mensejahterakan rakyat adalah kewajiban sesuai undang-undang negara semata, melainkan juga adalah bentuk keharusan yang akan dipertanggung-jawabkan dihadapan Tuhan nantinya.

Tampaknya teori Paradigma Simbiotik adalah jalan baru memandang hubungan agama dan kekuasaan, bahwa hubungan ini tidak hanya harmonis tetapi juga sinergis. Pardaigma Simbiotik adalah hubungan antara agama dan negara yang harmonis, dimana agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya negara juga memerlukan agama yang membantu negara sebagai pembinaan moral bangsa, penyumbang nilai-nilai etika dan spritualitas. (Baca: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, 2005). Hal ini diperkuat oleh K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur), bahwa agama adalah inspirasi bukan aspirasi. Inspirasi berarti menyumbang tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dalam sosio-kultural, Aspirasi berarti hasrat politis untuk memanipulasi agama menjadi sesuatu yang legal-formal, serba institusional, dan naga-naganya menghendaki berdirinya negara agama.

Referensi
– Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.27, Juni 2005)
– Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, (Jakarta: Logos, Cet.I, Maret 1999)
– Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, Cet-2, agustus 2005)
– Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cet.ke-3, September 2007)
– S.P. Varma, Teori Politik Modern (P.T RajaGrafindo Persada: Jakarta, Cet. ke-6, Februari 2001)
– Carlton Clymer Rodeec, dkk, Pengantar Ilmu Politik (P.T RajaGrafindo Persada: Jakarta, Cet.ke-5, Februari 2002)
– Antony Black, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. I, Juli 2006)

*Agama dan Negara dalam Tradisi Pemikiran Politik, Oleh: Moh. Fairuz Ad-dailami dibukukan dalam kumpulan esai pemenang lomba Esai Nasional Tingkat Mahasiswa se-Indonesia “KEKUASAAN DAN AGAMA”.
Judul Buku : Kekuasaan dan Agama

Oleh: Moh. Fairuz Ad-dailami

”Hasrat tertinggi lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia adalah membuktikan praktek kejahatan laten yang telah membudaya kenyataannya mampu hilang di muka bumi negeri ini” (KPK)

Ini yang mendorong pihak-pihak terkait seperti KPK menyelenggarakan ToT (Training of Trainer) bekerjasama dengan pihak akademisi seperti universitas-universitas seluruh Indonesia untuk bagaimana melibatkan para pemuda yang diwakili oleh mahasiswa dalam peran sertanya sebagai sumbangsih bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kegiatan training ini dilakukan selama empat hari secara berturut-turut. Berawal dari ratusan mahasiswa yang mendaftar sebagai calon peserta ToT Anti Korupsi KPK dengan syarat administrasi pembuatan artikel dan pengisian formulir biodata , 35 mahasiswa akhirnya lulus terpilih sebagai peserta resmi yang kemudian berhak mengikuti pelatihan selanjutnya.

Ke-35 mahasiswa ini di perkecil menjadi tujuh kelompok yang masing-masing terdiri dari lima orang. Pelatihan ini pun sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun alias gratis.

Praktek Lapangan
Pelatihan ToT Anti Korupsi KPK secara komplit untuk pertama kalinya di Indonesia ini dalam tingkat mahasiswa, karena melibatkan peserta secara langsung untuk terjun praktek lapangan yang tidak dilakukan di kampus-kampus sebelumnya.

Hal tersebut yang kemudian menjadikan pelatihan kali ini begitu menantang. Setelah adanya Briefing tugas dan pembekalan materi dari tim KPK pada hari pertama, selanjutnya para peserta dilepas untuk melaksanakan tugas ke tempat yang disinyalir berpotensi koruptif pada hari itu juga dan hari kedua secara langsung.

Sebelumnya peserta telah diberi pembekalan teknik dan standar investigasi di lapangan yang bagi mahasiswa hal ini merupakan pengetahuan baru untuk pertama kalinya.
Kemudian masing-masing kelompok di sebar ke beberapa titik yang berpotensi terjadi praktek korupsi, seperti kantor Samsat, Pos Retribusi, Kantor Kecamatan, Pengadilan Negeri, Kantor Catatan Sipil, dan bahkan lingkungan kampus sekalipun.

Ada banyak cerita yang berkesan dan menarik dari masing-masing kelompok dalam proses perjalanan melaksanakan tugas ini. Mulai dari mempraktekkan Undercover (penyamaran), prosedur investigasi, pencarian informasi sebanyak-banyaknya, maupun kebingungan dalam memutuskan target siapa saja yang harus diwawancarai untuk memperoleh akses informasi.

Dari sinilah yang kemudian mulai memunculkan hal-hal yang unik dan seru melalui proses pembelajaran yang tidak didapatkan oleh para peserta, yang umumnya terdiri dari semester satu, tiga, dan lima dalam pendidikan formal maupun perkuliahan sebelumnya. Karena penugasan ini sifatnya praktek secara langsung di lapangan sebagaimana KPK, maka masing-masing kelompok dituntut untuk bagaimana berfikir kreatif baik penggunaan cara maupun prosedur pelaksanaan demi kesuksesan penugasan.

Memasuki hari ketiga, informasi, bukti, dan bahan-bahan dugaan indikasi kejahatan korupsi yang telah diperoleh masing masing kelompok selanjutnya disusun menjadi sebuah laporan. Penyusunan laporan tentunya mendapat arahan langsung dari tim KPK yang pada hari itu juga harus dipresentasikan.

Proses penyusunan laporan, para peserta selain harus kreatif, mereka juga dituntut berfikir cepat dalam menuangkan hasil investigasi dalam bentuk tulisan. Tidak cukup sampai di situ, pemutaran hasil video (camera) tersembunyi, rekaman pembicaraan rahasia, dan pemerolehan barang bukti yang terkait indikasi bentuk kejahatan korupsi juga dihadirkan dalam penyampaian presentasi.

Pengalaman seperti inilah yang paling berkesan dari para peserta ToT Anti Korupsi KPK. Pelatihan yang selain sarat dengan bagaimana harus berfikir kreatif dan bertindak cepat, juga yang menjadi sangat penting adalah mereka memperoleh wawasan baru mengenai korupsi dan cara penaggulangannya yang tidak banyak oleh masyarakat umum mengetahuinya saat ini

Bahkan yang lebih membanggakan lagi, para peserta juga ternyata berhasil bersentuhan langsung merasakan bentuk-bentuk praktek kecurangan, penyimpangan, pelanggaran, dan penyalah-gunaan jabatan terkait kejahatan korupsi yang sebenarnya dapat ditindak secara hukum.

Generasi Bebas dari Korupsi
Pelatihan ToT Anti Korupsi KPK ternyata tidak hanya membuka mata kepala para peserta melalui pengalaman praktek lapangan secara langsung, tetapi juga membuka mata hati bagaimana merasakan betapa kejahatan korupsi di Indonesia begitu menggelisahkan. Rasanya ingin menjerit sebagai bentuk perlawanan melihat banyak terjadi ketidak-adilan, ketidak-jujuran, penyelewengan, dan penyalah-gunaan wewenang hampir di semua lini kehidupan dan lingkungan sekitar kita.

Dari sinilah langkal awal peran serta mahasiswa secara aktif terlihat konkrit dan menegaskan peran pemuda sebagai pembaharu (agent of change). Setelah pelatihan tingkat pertama ini selesai, diharapkan minimal para peserta mempunyai wawasan mengenai korupsi bagi dirinya untuk kemudian mau berbagi pengetahuan dengan lingkungan sekitar bahwa kejahatan laten ini sangat berbahaya dan dampaknya luar biasa.

Dalam tataran praktis, pelatihan anti korupsi kali ini akhirnya melahirkan semacam komunitas CPA (Community of People for Againts-Corruptions) yang bertugas mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan ke SMU-SMU sebagai bentuk kepanjangan tangan dari KPK setiap tiga bulan sekali. Bahkan komunitas ini juga dapat melakukan kegiatan pengawasan di kampus masing-masing, yang sebagaimana diketahui bahwa lembaga pendidikan dianggap lahan ”basah”, namun sulit untuk di tindak karena wilayah ini di luar kewenangan KPK.

Ini saatnya mewujudkan generasi Indonesia bebas dari korupsi. Saat ini Indonesia memiliki kurang lebih sumber daya manusia 140-150 juta usia muda, antara 12 sampai 20 tahun. Untuk menciptakan generasi emas (golden generation) tahun 2020 nantinya, perlu dipersiapkan mulai sekarang dengan langkah yang jelas. Dari output komunitas-komunitas kecil hasil pelatihan ToT Anti Korupsi KPK baik di kampus-kampus maupun sekolah-sekolah, diharapkan mampu menyebar dengan basis sharing (berbagi) wawasan mengenai bentuk kejahatan korupsi dan dampaknya untuk membawa langkah Indonesia menuju mimpi nyata. Mimpi untuk membuktikan bahwa kejahatan yang tidak hanya merugikan orang banyak tapi juga negara dan dianggap budaya kenyataannya mampu hilang di muka bumi negeri ini.

Terinspirasi oleh film Laskar Pelangi, agaknya Indonesia harus dikembalikan pada ruh aslinya. Bahwa Kita harus mulai banyak memberi daripada menerima, mensyukuri atas apa yang ada dan berbagi untuk bersama-sama menggapai mimpi mewujudkan kebahagiaan umat manusia.

Meminjam istilah Renald Kassali, mari kita tanamkan kata-kata di bawah nanti sebagai perenungan dan menyadarkan nurani bahwa kita semua bagian dari negeri tercinta ini. Satu kata terindah, maaf. Dua kata terindah, terima kasih. Tiga kata terindah, negeriku dalam kesulitan. Empat kata terindah, negeriku sulit untuk berubah. lima kata terindah, aku ada untuk membantu negeriku.

*Harian Umum Pelita, http://www.hupelita.com/baca.php?id=63412

Judul Buku : Wapres: Pendamping atau Pesaing?
Penulis : Roy B. B. Janis
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP) Kelompok Gramedia
Cetakan : 2008
Tebal : xix + 376 halaman

Presiden bukanlah sosok manusia super yang dalam tugas dan fungsinya mampu ia jalankan seorang diri tanpa bantuan manusia lain di sampingnya. Asumsi seperti inilah yang melahirkan munculnya sosok seorang Wakil Presiden sebagai sebuah paket ideal dalam sistem ketatanegaraan. Dan semuanya diatur dalam UUD 45 Pasal 4 Ayat 2 dan selanjutnya diperkuat kembali pada Pasal 8.

Buku ini menawarkan materi pembahasan yang dapat dibilang “istimewa” dalam menceriatakan kehidupan tokoh-tokoh bangsa terkait masalah jabatan, tugas, kinerja, dan fungsinya sebagai seorang Wakil Presiden. Karena umumnya, buku-buku yang beredar terlalu banyak mengulas sosok seorang Presiden, dan hanya sedikit menyinggung Wakilnya yang oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH diistilahkan “the second man” (Baca: halaman 2). Padahal seorang Wakil Presiden juga tidak kalah penting dalam peran sertanya mengawal sejarah perjalanan Republik ini.

Kemudian secara keseluruhan, pokok pembahasan buku ini mengulas cukup dalam mengenai pengertian maupun kedudukan seorang Wakil Presiden dari tinjauan hukum dan sistem ketatanegaraan yang garis besarnya terbagi atas tiga periode. Pertama, masa jabatan Wakil Presiden Mohammad Hatta dengan Presiden Soekarno yang awal pemerintahannya dikenal sebagai pasangan harmonis berpredikat Dwi-tunggal, hingga beberapa tahun kemudian muncul indikasi ketidak-cocokan menyangkut masalah prinsipil yang membawa keduanya berujung pada istilah Dwi-tanggal.

Kedua, periode Wakil-wakil Presiden pada masa Orde Baru dan awal reformasi yang dapat dikatakan terjalin hubungan harmonis antar keduanya, namun hubungan ini terkesan semu karena lebih banyak dilandasi rasa ketundukan terhadap superioritas seorang Presiden. Tidak heran jika selama 32 tahun rezim ini berkuasa, telah enam kali terjadi pergantian Wapres namun masih tetap pada seorang Presiden yang sama. Dari sinilah muncul sindiran yang menggambarkan kedudukan dan fungsi seorang Wapres selama masa Orde itu tidak lebih sebagai “ban serep” belaka.

Ketiga, bergulirnya reformasi yang melahirkan banyak partai dengan sistem pemilihan langsung menciptakan nuansa hubungan dua manusia paling tinggi jabatanya dalam institusi negara ini tidak lagi dimaknai dalam koridor sebagai pendamping, namun dalam ruang tertentu seorang Wapres dapat menunjukkan superioritasnya sekaligus naluri pesaing.

Cara pandang unik seperti inilah yang coba ingin dihadirkan oleh penulis atas fenomena yang berkembang saat ini. Namun di sisi lain, buku ini juga ada kesan “memihak” mengingat penulisnya juga adalah “orang partai” yang tidak lepas dari banyak kepentingan. Hal ini terlihat dalam ulasan Bab Wakil Presiden Megawati dalam masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang seolah pihak seorang Wapres pada masa pemerintahan yang pendek ini banyak “disakiti” dan tidak diberi tugas secara proporsional sesuai fungsi seharusnya.

Terlepas dari hal itu, keberadaan buku ini tidak mengurangi maksud dan tujuannya yang dapat memberikan wawasan baru dalam mengulas sosok seorang Wapres dengan “kekuatan tersembunyi”-nya yang tidak banyak orang ketahui. Ulasan materi pembahasan di dalamnya menjadi terlihat “berbeda” dari buku-buku lainnya dan baik untuk menjadi referensi bagi mereka yang ingin mendalami serba-serbi kehidupan Wapres terkait jabatan yang disandangnya.Dalam perkembangannya, buku ini menjadi relevan ketika muncul wacana, bahwa seorang Wapres tidak hanya berperan sebagai pendamping, tetapi juga mempunyai potensi sebagai pesaing.

*Peresensi  Moh. Fairuz Ad-Dailami, Koran Jakarta, Senin 22 Desember 2008

Oleh: Moh. Fairuzad D

Gencarnya kampanye peduli pemanasan global, mendorong pihak-pihak terkait untuk ikut serta mengkampanyekan sosialisasi hemat energi sebagai bentuk upaya untuk menyadarkan manusia dari bahaya fenomena alam yang mulai tidak ramah ini. Kegiatan seperti inilah yang dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral baru-baru ini bekerjasama dengan pihak-pihak kampus yang tersebar di Indonesia. Kegiatan berupa penyelenggaraan seminar dengan tajuk “Sosialisasi Penggunaan Hemat Energi Listrik dan Air”.

Mengacu pada UUD 45 Pasal 33 ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sinilah yang kemudian menjadi salah penafsiran oleh banyak masyarakat yang menganggap bahwa apapun yang ada di negeri ini secara leluasa diperbolehkan untuk di ambil dan digunakan atas nama rakyat tanpa ada upaya koreksi atas akibat yang timbul nantinya dengan kegiatan tersebut.

Mahasiswa dan Gaya Hidup Pemborosan
Terkait masalah energi listrik dan sumber daya air dengan generasi muda yang penyandang status mahasiswa tentunya hal ini akan menjadi menarik dan perlu untuk dihiraukan. Berapa juta jumlah mahasiswa maupun para pemuda yang bekerja melakukan urbanisasi menyebar ke kota-kota besar di Indonesia rela meninggalkan kampung halamannya masing-masing? Tentu secara tidak langsung hal ini akan sangat terkait erat dan berpengaruh terhadap keadaan kota-kota yang mereka tempati.

Sumber daya energi listrik dan air seolah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Ini yang seharusnya disadari oleh para mahasiswa sebagai generasi yang berpendidikan dan agent of change (agen perubahan) untuk diperhatikan. Bagi mereka yang memadati kota-kota besar di Indonesia dengan tujuan mengenyam pendidikan, lantas tidak menghiraukan keseimbangan alam di sekitarnya, hanya karena mereka berfikir tempat tinggalnya yang sementara itu bukanlah kampung halamannya yang merasa tidak perlu untuk mendapat perhatian serius.

Tidak heran jika cara berfikir seperti ini yang membentuk perilaku sebagian besar mahasiswa seolah bebas nilai, karena jauh dari orang tua dan dapat melakukan apa saja sesuka hatinya. Perilaku seperti ini dapat kita lihat pada kehidupan kost-kostan mereka. Membuka kran air pahadal tidak terpakai, menghidupkan AC sepanjang hari, menghidupkan kipas angin, televisi, radio, komputer, lampu, dispenser, dan alat-alat elektronik lainnya semalaman. Kegiatan tersebut dilakukan secara “gampang” tanpa disertai cara berfikir panjang mengenai dampak dan akibat yang nantinya ditimbulkan, inilah cermin bentuk dari gaya hidup pemborosan.

Mungkin jika perilaku seperti di atas dilakukan oleh satu orang saja, tampaknya akan menjadi tidak masalah. Namun jika ternyata hampir dan bahkan semua mahasiswa serta masyarakat luas pada umumnya dengan jumlah yang begitu besar, maka akan sangat berpengaruh terhadap sumber daya energi listrik dan air yang akan menjadikan suatu kelangkaan. Wajar jika kemudian di kota-kota besar, khususnya pemukiman-pemukiman padat penduduk yang digunakan untuk daerah kostan menyebabkan terjadinya pemadaman listrik bergilir maupun krisis air bersih karena air tanahnya sudah sangat tercemar.

Bahkan apa yang dianggap sepele bagi mereka seperti membuang puntung rokok di sembarang tempat ternyata dapat menimbulkan masalah yang serius. Bayangkan berapa juta puntung rokok yang dibuang di sembarang tempat setiap harinya, lalu kemudian ada hujan dan terbawa air. Puntung rokok itu masuk ke dalam lubang-lubang yang menjadi rumah berbagai macam spesies atau organisme dan menyebabkan kematian, maka fungsi mereka sebagai penyeimbang ekosistem dan lingkungan akan hilang.

Manusia Berkesadaran
Misi dari sosialisasi hemat energi ini cukup sederhana, bagaimana mengubah pola pikir generasi muda yang jumlahnya melimpah itu menjadi manusia yang berkesadaran. Minimal setelah mengikuti sosialisasi ini akan timbul kesadaran dari dalam dirinya untuk kemudian mampu melakukan perubahan dalam skala yang lebih besar lagi. Melalui forum ini, mahasiswa yang tergolong kelompok elite dalam mendapatkan pendidikan, sosialisasi dan pengetahuan yang lebih mampu mengubah perilaku dan kebiasaan gaya hidupnya yang boros. Lalu kemudian mau untuk ikut mengkampanyekan dan sosialisasi hemat energi kepada orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Rendahnya wawasan lingkungan, eksploitasi alam yang berlebihan, penggunaan sumber daya energi tanpa berfikir panjang, dan orientasi bisnis jangka pendek merupakan kegiatan yang menjadikan alam ini semakin mengkhawatirkan, sekaligus sepenggal kepongahan manusia modern dalam bergaul dengan alam. Mengacu pada Massaru Emoto seorang Ilmuan Alam dari Jepang, dalam Bukunya The Power of Water, mengajak paradigma pola berfikir kita untuk memposisikan alam dan manusia merupakan sama-sama makhluk hidup yang butuh kasih sayang dan cinta. Padahal sebenarnya leluhur kita juga telah mengajarkan pentingnya hidup manunggal (menyatukan diri) dengan alam. Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal ini, maka interaksi manusia dengan alam berada pada hubungan yang saling menjaga dan menguntungkan.

Dari perspektif inilah yang akan melahirkan generasi bau bangsa ini menjadi manusia-manusia berkesadaran. Praktek hemat energi seperti penggunaan air dengan baik dan seperlunya, membuang sampah pada tempatnya, mematikan alat-alat elektronik yang tidak dibutuhkan, dan mau menggunakan transportasi ramah lingkungan (sepeda) ketika jaraknya memang memungkinkan, apabila dilakukan dalam kegiatan sehari-hari oleh mahasiswa reperesentasi dari generasi muda dan masyarakat luas adalah suatu bentuk kepedulian nyata terhadap keseimbangan alam. Jika gelombang kesadaran hemat energi seperti ini dimiliki oleh generasi negeri ini, maka secara jelas bangsa ini telah ikut serta menciptakan tatanan keselarasan kehidupan dunia dan keseimbangan alam sebagaimana harapan semua umat manusia. Generasi hemat energi tampaknya akan mewarnai perjalanan bangsa ini ke depan nanti.

*Harian Umum Nasional Pelita, http://www.hupelita.com/baca.php?id=62633

Judul Buku : Teori-Teori Politik Ekonomi
Penulis : James A. Caporaso dan David P. Levine
Penerjemah : Suraji
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Oktober 2008
Tebal : xxii + 598

Konsep Ekonomi Politik dimunculkan pada abad 18 dengan tujuan membantu orang dalam memahami dan mengatasi perubahan dramatis dalam sistem pemenuhan kebutuhan manusia. Istilah “ekonomi” diambil dari konsep Yunani yang secara mudahnya dipahami sebagai manajemen rumah tangga. Sementara politik adalah apapun bentuk kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dan pelaksanaannya (Baca: Miriam Budiardjo).

Jelas konsep disiplin ilmu yang muncul dua abad kebelakang ini telah mengalami pergeseran makna. Jika ekonomi secara historisnya sebatas wilayah keluarga, maka Ekonomi Politik lebih luas cakupannya, negara dan bahkan tataran dunia. Seringkali diasumsikan bahwa Ekonomi Politik adalah integrasi antara ilmu ekonomi dengan ilmu politik. Padahal keduanya dapat dipahami secara terpisah, meskipun antara satu sama lain memiliki “hubungan organik” yang membuat batasan wilayah keduanya seolah “tidak jelas”.

Istilah “politik” sendiri dalam teori Politik Ekonomi mempunyai dimensi ekonomi menyangkut masalah pemuasan atau pemenuhan kebutuhan yang seiring perkembangan zaman, menuntut negara selaku institusi jasa publik bagi rakyatnya sebagai tanggung-jawab menggantikan tugas rumah tangga. Ini yang membedakan konsep ekonomi masa silam yang tugas itu adalah tanggung-jawab kepala keluarga bersifat lokal, dan dengan berkembangnya negara-bangsa (nation-states) saat ini maka tugas ini pun beralih kepada kepala negara.

Setidaknya hal ini dilatar-belakangi oleh dua hal, pertama sebuah sistem politik memungkinkan terjadinya interaksi hubungan antar manusia dalam suatu wilayah tertentu, tanpa adanya negara aktifitas ini akan sulit terjadi, padahal untuk memenuhi kebutuhan sekarang kita membutuhkan orang lain meskipun kita tidak kenal. Kedua, kegiatan pemenuhan kebutuhan saat ini bukan lagi tanggung jawab kepala keluarga, melainkan sudah bersifat politik dimana sistem pemenuhan kebutuhan diserahkan kepada sebuah kewenangan publik (negara) untuk mengaturnya.

Relevansi Ekonomi dan Politik Dalam Konsep Demokrasi
Ekonomi dan Politik dianggap sebagai dua entitas yang berbeda namun mempunyai keterkaitan yang sangat erat, bahkan antara satu sama lain dapat saling mempengaruhi, tidak heran jika hubungan keduanya kadang bersifat dilematis. Dalam dimensi waktu, , ranah politik jangka pendek diukur dalam hitungan hari, bahkan jam. Dan dalam tempo lima tahun, umur hidup politik dapat hancur dan hidup kembali berkali-kali (Baca: Radius Prawiro). Dalam hitungan detik, perubahan dalam dunia politik yang paling fundamental sekalipun keadaannya dapat berubah secara drastis dan signifikan.

Sementara ekonomi dalam hitungan paling cepat, dapat dirasakan baik atau tidak hasilnya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Apalagi jika ia diletakkan pada konteks membangun perekonomian yang stabil, dibutuhkan waktu yang lama dalam hitungan tahun sebagai ukuran dianggap logika kewajaran.

Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan sekaligus perdebatan adalah apakah negara yang merupakan representasi dari entitas politik mau memberikan waktu sedemikian banyak kepada suatu pemerintahan (orde atau rezim), untuk mencapai tujuannya terkait pemenuhan kebutuhan manusia (rakyat) dalam menciptakan kesejahteraan? Masalah tersebut tampaknya akan berbenturan dengan konsep poltik (demokrasi) yang paling dianggap ideal saat ini, bahwa “suatu pemerintahan akan terus berubah (berganti) dan kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi”. Lord Action menegaskan kembali bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung akan menyalah-gunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalah-gunakannya).

Dua entitas yang berbeda dalam dimensi waktu ini tampaknya akan mengalami kesulitan untuk seiring sejalan secara harmoni, apalagi mengikatkannya dalam pertalian sejati. Dari diskursus ini seolah memaksa kita dihadapkan pada dilema pilihan dikarenan dua entitas itu harus dijalankan pada wilayah demokrasi.

Maka untuk meminimalisir benturan yang akan terjadi, maka teori-teori Ekonomi Politik pun bermunculan sebagai respon jawaban atas keadaan yang paradoks ini. Benar atau tidaknya sebuah teori, ketika ia bukan lagi sekedar ide dan gagasan, melainkan adanya uji coba dan pematahan yang diterapkannya secara riil untuk mengetahui tingkat kebenaran. Perdebatan antar teori pun tak terelakkan dan akuisi atas konsepsi mana yang paling terjamin ampuh dan kokoh dari pergantian pemerintahan (politik) mapun gejolak krisis (ekonomi) menjadi sangat beralasan.

Keaneragaman Pendekatan
Buku ini hadir dengan tujuan utamanya menelaah dan mengembangkan inti teori berbagai pendekatan dalam Ekonomi Politik. Berusaha sedapat mungkin bertolak dari aliran maupun teori yang sudah mapan, memaksa penulis harus menguraikan secara lengkap perkembangan Ekonomi Politik dalam pembahasan.

Pendekatan-pendekatan diuraikan secara detail sekaligus sebagai upaya aktif untuk menyusun kelahiran kembali teori baru yang lebih relevansi menjawab masalah dalam dimensi kekinian. Wajar jika buku ini mempunyai materi yang padat. Mulai dari uraian ilmu politik dan ekonomi yang sangat rinci, pendekatan Klasik, Marxian, Neo-Klasik, Keynisian, pengaruh ekonomi terhadap politik maupun sebaliknya dan perspektif Keadilan menunjukkan buku ini terasa komplit sebagaimana tujuan utamanya.

Melalui “penafsiran” ulang oleh penerjemah (Suraji) dengan berlatar-pendidikan yang meyakinkan dan mumpuni, membuat sosok buku lama menjadi lahir kembali dengan rasa yang berbeda. Meskipun dalam kasus tertentu, buku ini kurang memaparkan aliran dan teori-teori sebagaimana buku lainnya bergenre sama. Selain pendekatan aliran klasik, Marxian, Neo-Kalsik dan Keynisian, ternyata masih ada pendekatan aliran Moneterisme dan Ekspektasi yang Rasional (Ratex) meskipun keberadaannya tidak cukup populer (Baca: Hendi Kariawan).

Tingkat identifikasi yang tinggi dan penjabaran peran maupun makna beberapa ciri khas dari tiap-tiap pendekatan, tidak hanya secara fisik menyebabkan buku ini terasa tebal, melainkan menegaskan kandungan materinya begitu berisi dan layak menjadi pertimbangan referensi.

*Peresensi Moh. Fairuz Ad-Dailami, Resensi Harian Nasional Seputar Indonesia, 28 Desember 2008.