Judul Buku : Maryamah karpov
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Yogyakarta, Bentang
Cetakan : I, November 2008
Jumlah Halaman : xii + 504
Peresensi : Moh. Fairuz Ad-Dailami*

Buku keempat tetralogi laskar pelangi yang ditunggu ini merupakan petualangan akhir bagi sang penulis dalam menyelesaikan kelengkapan cerita tentang sepuluh anak cemerlang dari tanah Belitong. Kekuatan mimpi-mimpi besar yang dimiliki anak-anak Laskar Pelangi dalam perjalanan menyongsong masa depan terefleksikan di tiap-tiap tulisan buku terakhir.

Mimpi besar itu diawali oleh Ikal (mozaik 2) atas sumpah serapah yang ia ucapkan untuk berjanji pada dirinya sendiri, menempatkan setiap kata-kata ayahnya di atas nampan pualam. Bersumpah akan sekolah setinggi-tingginya, ke negeri manapun dan apapun rintangannya.

Janji keramat ini dilatarbelakangi atas kekaguman dan rasa haru pada sang ayah. Bahwa kekeliruan administrasi Djuasin bin Djamalludin Anshori, Mandor Perusahaan Kawat Maskapai Timah di Belitong yang mengirimi surat berlambang maskapai nan terhormat pada ayah Ikal. Surat yang tak pernah disangka ini berisi soal kenaikan pangkat dan amplop rapel enam ternyata salah alamat.

Hal ini memupuskan rencana membelikan kebaya encim sang ibu yang sudah tiga kali lebaran tidak pernah ganti dan kue hok lo pan di atas loyang yang gurih berasap-asap kepada Ikal. Rencana ini hanya angan-angan semata, sungguh menyakitkan!

Namun sikap yang ditunjukkan sang ayah sungguh mengagumkan. Setelah seharian ikut mengantri bersama ratusan kuli yang dikirimI surat berlambang maskapai soal naik pangkat, tetapi sang ayah tak kunjung dipanggil-panggil sampai semua orang habis. Kenyataannya tidak menghilangkan sikap kebesaran jiwa, ia menyalami kawan-kawannya satu per satu untuk mengucapkan selamat setelah pengumuman kenaikan pangkat itu di pabrik timah. Dan sikap penuh takzim menerima penjelasan dari Mandor Djuasin malam harinya mengenai peraturan Maskapai bagi kuli seperti ayahnya yang tidak mempunyai ijazah memang tidak akan pernah naik pangkat membuktikan kelapangan hati sang ayah.

Dari peristiwa inilah, yang kemudian justru menjadi titik balik Ikal dalam berusaha keras untuk mewujudkan sumpahnya. Janji keramat terhadap dirinya sendiri untuk dapat sekolah setinggi-tingginya ke negeri manapun terkisahkan dalam lembaran buku ini, keberhasilannya belajar di Perancis dengan beasiswa khusus dari Uni Eropa membuktikan mimpi besar anak-anak Laskar Pelangi.

Perahu Asteroid
Ada bagian cerita menarik dalam buku ini, sekembalinya Ikal dari merampungkan studi di Paris. Ketika pertemuannya kembali dengan teman sebangku di SD Laskar Pelangi setelah sekian waktu yang lama, Lintang. Pertemuan ini menghasilkan ide brilian untuk membuat sebuah perahu yang oleh Lintang disebut dengan Perahu Asteroid.

Lebih mengharukan lagi, ketika Ikal merasa tidak sendirian dalam membuat Perahu Asteroid ini. Ternyata Samson, A Kiong, Syahdan, Sahara, Kucai, Flo, Trapani, dan Harun, para pemangku sumpah setia persahabatan Laskar Pelangi hadir di sana untuk ikut mensukseskan misi ini. Semuanya hadir dalam formasi lengkap dan penuh semangat untuk mengemban petualangan baru ke depan.

Misi ini merupakan rencana C ketika mimpi-mimpi besar anak Laskar Pelangi tidak semuanya terwujud sebagaimana rencana A. Cita-cita Samson yang sederhana ingin menjadi tukang sobek karcis di bioskop akhirnya terwujud, Kucai yang ingin jadi politisi pun tercapai, serta Flo dan Sahara, bahagia dengan anak-anak mereka. Selebihnya, anak-anak Laskar Pelangi mempunyai hikayat yang berbeda-beda. Diskusi rencana pembuatan Perahu Asteroid mengambil tempat di SD Muhammadiyah sembari menapaki kenangan-kenangan indah masa lalu sekaligus syahdu.

Lintang dan Ikal mangalami perdebatan sengit mengenai cara pandang (mozaik 46, halaman 285). Membuat sesuatu yang rumit menjadi begitu sederhana adalah keahlian khusus Lintang yang membuat Ikal selalu iri. Pesimistis Ikal dalam membuat Perahu Asteoid sebagaimana hebatnya kapal Bulukumba Mapangi telah terpatahkan oleh argumen-argumen Lintang.

Ikal yang berfikir membuat perahu tidak akan mungkin berhasil jika tanpa dibarengi oleh banyaknya pengalaman dalam membuat perahu sebelumnya, menjadikan Ikal merasa kecil hati untuk menytelesaikan tugas ini, mengingat ia belum pernah sama sekali membuat perahu atau berprofesi pembuat perahu.

Namun hal ini dibantah Lintang, menyuruh Ikal menempatkan dirinya sebagai seorang ilmuwan bukan seorang pembuat perahu. Dengan ilmu, perahunya akan lebih hebat daripada kapal legendaris Mapangi. Bagi Lintang, apapun bentuknya, perahu adalah sebuah bangun geometris yang tunduk pada dalil-dalil hidrodinamika. Ini yang tak pernah terpikirkan oleh Ikal sebelumnya.

Sihir Kata-kata
Dalam karya-karya Andrea Hirata, khususnya koleksi Laskar Pelangi, selalu ada ungkapan yang membarenginya, yaitu rasakan betapa setiap kalimat yang diciptakan memiliki kekuatannya sendiri lengkap dengan sihir kata-kata. Hal ini terbukti dalam buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelanginya.

Cerita buku ini merupakan hasil susah payah Ikal dalam menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tinginya demi martabat ayah dan keluarga. Menghindarkan dirinya menjadi kuli timah menggantikan tugas sang ayah. Kemudian cerita Ikal tentang banyak tempat dan peristiwa yang pernah ia jelajahi, sudut-sudut dunia yang telah ia kunjungi demi menemukan sang Cinta (A ling).

Namun cerita cinta ini sayangnya tidak menemukan ujung kisah percintaan Ikal dan A ling dengan cukup berarti. Hubungan masih tampak menggantung dan menyisakan sekelumit misteri. Mimpi-mimpi Lintang pun yang seharusnya ditekankan dalam karya terakhir ini pun kurang dijelaskan secara konkrit dan gamblang.

Daya tarik buku ini menjadi berbeda dari karya-karya sebelumnya, adalah banyaknya tokoh-tokoh baru lengkap dengan berbagai karakter yang mengiringinya. Konsistensi sang penulis menggarap sastra berdasarkan pendekatan budaya dan penggunaan perbendaharaan kata-kata yang mewakili kedalaman ilmu pengetahuan, merupakan sisi yang belum terjamah oleh penulis sastra manapun kecuali seorang Andrea Hirata. Maryamah Karpov merupakan pembelajaran bagi kita saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani.

Judul : Menggugat Pendidikan Indonesia;
Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara
Penulis : Moh. Yamin
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Tahun : I, Januari 2009
Tebal : 300 halaman

2 Mei adalah hari Pendidilkan Nasional. Tampaknya bulan yang pas bagi bangsa Indonesia untuk mengorekasi sistem pembelajaran yang menunjukkan banyak catatan sekaligus perlunya suatu pembenahan. Bagaimana tidak, dunia pendidikan di Indonesia masih menunjukkan wajah yang memprihatinkan. Pendidikan seolah menjadi tumbal sekaligus korban kepentingan para praktisi elite pendidikan hampir di semua jajaran birokrasi kekuasaan.

Dari yang paling membingungkan, seperti kebijakan coba-coba (trial and error) terhadap sistem pendidikan yang pas bagi masyarakat Indonesia seperti apa, jelas ini menunjukkan ketidak-sungguhan sekaligus ketidak-mampuan pemerintah mengenal tipologi mayarakat terkait kegiatan belajar-mengajar yang ada.

Di era kemajuan peradaban yang pesat dan luasnya informasi dewasa ini, ilmu pengetahuan yang legal-formalnya direpresentasikan dalam bentuk institusi pendidikan dapat disetarakan dengan kebutuhan primer sebagaimana kebutuhan makan. Pendidikan sejatinya barometer untuk mengukur manusia terkait masalah kecerdasan, intelektualitas, dan kemampuan bernalar. Ia juga dapat membentuk manusia menjadi makhluk yang berkeadaban dan memajukan peradaban.

Dari tinjauan historis dan rentang waktu, perjalanan pendidikan di Indonesia menunjukkan grafik yang unik dan menarik. Bahwa pada masa penjajahan, pendidikan diatur dan dikelola secara ketat oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Politik Etis pun menjadi bentuk balas budi atas semua kolonialis-imperialis selama ini. Meskipun begitu, diskriminasi jelas sesuatu yang sangat kentara, larangan Bumi Putera untuk meraih pendidikan dan hanya kaum bangsawan yang berhak mendapatkannya adalah situasi penggambaran saat itu.

Kemudian kemerdekaan pun akhirnya tercapai, Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno cukup memberikan angin segar bagi ruang kegiatan belajar. Sukarno adalah tipe orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Dalam kongres ke-7 IPPI di Istora Senayan, Sukarno bercerita panjang yang hemat kata menyeru kepada generasi muda untuk menanamkan kesadaran imajiner terkait soal cita-cita besar apa yang seharusnya diperjuangkan demi membangun Indonesia. Konsep sosialisme yang mendasari pendidikan saat itu, membentuk anggapan bahwa pendidikan bukan ditentukan derajat kelas sosialnya.

Orde Baru hadir untuk mengkebiri kebebasan berfikir. Kultur belajar pada masa Orde Lama dilarang dengan alasan membahayakan kehidupan sosial di masyarakat. Pembatasan terhadap buku-buku pemikiran yang berbau komunis-sosialis benar-benar tidak diperbolehkan. Yang sejatinya kebebasan berkumpul dan berpendapat dalam proses kegiatan belajar, justru dianggap kejahatan subversif yang dapat mengganggu stabilitas. Pandek kata, pendidikan masa ini memang sengaja direkayasa sedemikian rupa untuk politik pencitraan dan kepentingan pemerintah saat itu.

Gerbang reformasi pun akhirnya terbuka, menutup rapat-rapat masa pemegang kekusaan sebelumnya tepat pada saat bulan pendidikan tahun 1998. Bangsa Indonesia mencoba memasuki era pembebasan. Perbaikan pun mulai dilakukan dengan cukup serius hampir di semua lini tata kepemerintahan, termasuk di bidang pendidikan. Dari perspektif emansipasi dan kesetaraan hak, dunia pendidikan menunjukkan wajah yang cukup menggembirakan. Secara bertahap namun pasti mulai ada pengakuan betapa gender tidak dianggap lagi sebagai batu sandungan bagi seseorang untuk meraih pendidikan secara layak.

Moh Yamin dalam buku ini berusaha menguraikan konsep pendidikan yang diilhami dari Paulo Fraire dan Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan manusia yang berkualitas dan mampu berfikir cerdas. Artinya sistem pendidikan ini dapat membentuk pola pikir seseorang menjadi kritis terhadap banyak hal. Ini dimaksudkan untuk menghindarkan seseorang dari pembodohan oleh siapapun, tak terkecuali pemerintah dan praktisi pendidikan yang erat dengan banyak kepentingan.

Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, perspektif kearifan dalam dunia pendidikan sudah seharusnya diperhatikan dan diimplementasikan. Bahwa konsep “jer basuki mawa beya” harus benar-benar dijauhkan dari dunia pendidikan menjadi platoform dari kearifannya. Artinya seberapa jauh keberhasilan suatu institusi pendidikan dalam menelurkan manusia pintar itu ditentukan seberapa besar dana dan biaya yang harus dibayarkan.

Jika hal ini terjadi, maka akan tercipta kesenjangan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akses pendidikan seolah hanya untuk bagi mereka yang kaya. Suasana ini akan terulang kembali seperti zaman penjajahan dulu. Dan yang lebih menyakitkan, institusi pendidikan akan mulai kehilangan tujuan mulianya. Bukan difungsikan untuk sarana berkembangnya ilmu pengetahuan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, melainkan menjadi komoditas komersial sebagai alternatif jalan baru memperbanyak aset kekayaan.

Fenomena perlombaan menciptakan universitas bertaraf internasional (world class university) tentunya dengan estimasi biaya mahal di kota-kota besar menunjukkan dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda masalah yang serius. Hal ini semakin diperparah dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah dalam bentuk UU BHP yang semakin menegaskan bahwa teori untuk menciptakan pendidikan berkualitas harus diiringi dengan biaya besar. Bahwa kemudian pendidikan yang layak dan ilmu pengetahuan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berduit dianggap fenomena kewajaran sekaligus pembenaran adalah hal yang menakutkan bagi dunia pendidikan.

Tidakkah kita belajar pada film Laskar Pelangi? Untuk terciptanya manusia yang berkualitas dan cerdas kenyataanya tidak ditentukan oleh status sosial, mewahnya fasilitas, dan besarnya biaya pendidikan. Melainkan ketekunan, semangat, dan cinta adalah elemen penting bagi seorang dapat terhindar dari kebodohan dan miskinnya ilmu pengetahuan

Jalan baru atas masalah dunia pendidikan di negeri ini adalah tuntutan lahirnya kearifan oleh institusi pendidikan maupun pemerintah. Hal ini dapat dilihat bagaimana sejarah Ki Hajar Dewantara dalam mempelopori terbentuknya lembaga pendidikan melalui Taman Siswanya. Tut Wuri Handayani tampaknya menjadi cahaya atas kebuntuan ini, bahwa pendidikan yang baik adalah hak dasar manusia tanpa ditentukan oleh kelas dan kasta.

*Moh. Fairuz Ad-Dailami

Pohon dan Keikhlasan

30 Mei 2010

Oleh: Moh Fairuz Ad-Dailami

Siapa bilang pohon itu tidak ada hubungannya dengan keikhlasan. Jika kita mau mengakui dan menyadari, justru pohon adalah makhluk Allah paling ikhlas di dunia yang kita bisa lihat selain malaikat. Betapa tidak, dalam situasi bagaimanapun, baik panas maupun hujan, pohon tidak pernah mengeluh. Pohon juga tidak berusaha untuk meneduh terhadap semua jenis musim yang ada. Ia benar-benar ikhlas terhadap semua apa yang ditentukan oleh Allah dalam keadaan apapun.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (Ali Imran: 190). Firman Allah ini menegaskan bahwa apapun makhluk yang diciptakan-Nya di dunia ini dapat menjadi pembelajaran bagi mereka yang berakal.

Berakal di sini adalah manusia yang mau memikirkan ciptaan-ciptaan Allah dari sisi yang orang lain tidak banyak lihat. Lalu menjadikannya hikmah untuk kemudian berbagi dengan manusia lainnya. Sebagaimana pohon yang lebih banyak memberi untuk kehidupan makhluk lainnya tanpa mengharapkan imbalan.

Ia rela dengan ikhlas berkorban menyaring racun dalam bentuk polusi udara menjadi oksigen yang diberikan kepada manusia yang sebenarnya perusak alam itu. Berapa banyak daun yang ia gugurkan demi memurnikan oksigen kembali bagi kehidupan makhluk lainnya? Bahkan ia rela mati kekeringan dikerenakan tugas mulianya ini.

Dengan ini jelas bahwa sudah selayaknya kita harus belajar soal keikhlasan dari tumbuhan yang bernama pohon itu. Apa yang kita jalani dalam hidup ini masih kalah jauh dengan apa yang diberikan oleh pohon, meskipun begitu manusia masih tetap menunjukkan keangkuhan dan kerakusannya. Masih punya rasa bersalahkah kita ketika menancapi pohon dengan paku-paku tajam untuk memasang pamphlet, banner, umbul-umbul, dan poster demi kepentingan sesaat sebagaimana masa kampanye kemaren? Belum lagi masalah pencemaran lingkungan dan penebangan hutan (pohon) besar-besaran yang dapat membahayakan kehidupan semua makhluk?

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191). Ayat ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya, bahwa ketika kita mulai menyadari atas kepongahan selama ini yang kita lakukan sebagai seorang manusia, betapa berdosanya diri ini.

Belajar dari Air*

30 Mei 2010

Oleh: Moh Fairuz Ad-Dailami

Sebagaimana air, ia bersifat meneduhkan. Ia membawa kehidupan bagi semua makhluk hidup di dunia. Secara kasat mata, air terlihat melembutkan dan benda cair paling ramah di dunia yang dapat diterima oleh semua jenis kehidupan akan keberadaannya.

Dari sisi filosofis, air mempunyai banyak makna sebagai pembelajaran kehidupan. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Allah yang berasal dari air (sperma) yang dalam empat puluh hari menjelma menjadi segumpal darah (Al-‘Alaq: 2). Secara ilmiah ini memang terbukti, Massaru Emoto seorang ilmuan Jepang dalam bukunya The Power of Water menegaskan bahwa manusia ketika masih dalam kandungan, 90 % materi tubuhnya terdiri dari air, lahir menjadi 70%, dan kemudian tumbuh berkembang sampai mati, komposisi tubuh manusia 60% adalah air. Jadi, manusia tak ubahnya benda cair yang dibungkus oleh kulit dan daging.

Sebagai seorang manusia, ia harus sadar bahwa kompisi tubuhnya sebagian besar terdiri dari air. Sebagaimana sifat dasar air, manusia dalam bertingkah laku dan melakukan segala aktifitas kegiatannya harus bersifat maneduhkan bagi lingkungan sekitar. Artinya sifat-sifat yang ada pada air harus menjadi insprirasi bagi manusia untuk menciptakan pribadi-pribadi sholeh dalam kehidupan antar sesama manusia, hewan, dan alam.

Dari sisi kelembutan, ternyata benda paling keras di dunia yaitu baja, kenyataannya hanya dapat dikalahkan oleh air. Tidak heran jika kemudian air digunakan untuk memotong baja menggunakan alat dengan sistem penekanan air melalui celah kecil sedemikian rupa. Moralnya adalah, apabila kita berhadapan dengan seseorang yang mempunyai watak keras, maka kita harus mengimbanginya dengan watak yang lembut dan rendah hati.

Dalam Firman Allah dikatakan bahwa air memegang peranan penting dalam hampir semua sirkulasi kehidupan di dunia. Maka dari itu, manusia pun seharusnya berlaku sama. Ia harus mampu menjadi pribadi yang berguna bagi manusia lainnya sebagaimana air yang selalu dibutuhkan oleh makhluk hidup.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Al-Baqarah: 164).

*Kolom Hikmah Republika, 24 April 2008

Oleh: Moh. Fairuz Ad-Dailami

Pemilu secara historis merupakan bentuk aktivitas pendelegasian amanat dari rakyat kepada seorang pemimpin. Dalam sisi filosofis, ia mempunyai ruang sakral dalam prosesi penyerahan jabatan dimana seketika itu juga seorang pemimpin mempunyai tanggung-jawab luar biasa besar dan berat terkait dengan kesejahteraan rakyat.

Tidak heran jika dalam serah-terima jabatan ini, dalam beberapa negara diharuskan mengambil sumpah jabatan menggunakan kitab suci. Secara simbolis, aktivitas ini menunjukkan perjanjiannya yang luar biasa, tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga dengan Tuhan. Sakralitas yang melibatkan keimanan semacam inilah yang seharusnya menjadi bahan ajar bagi calon seorang pemimpin negara untuk memahami secara mendalam atas hakekat dari menjadi seorang pemimpin.

Teori Kontrak Sosial (social contract) sebagai dasar terbentuknya negara, yaitu perjanjian masyarakat kepada calon pemimpin (presiden) tampaknya mengalami reduksi arti sesungguhnya dalam hal esensi sebagaimana tataran teoritis, maupun implementasi secara praktis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya parpor, caleg, dan calon presiden yang begitu mudahnya mengobral janji.

Sembako murah, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lahan kerja sampai 40 juta jiwa, memerangi kemiskinan, dan bahkan mereka ada yang berani akan memberikan 1000 beasiswa pendidikan + laptop kepada mahasiswa setiap tahunnya. Perang janji inilah yang kemudian malah menjadi citra “sampah” bagi janji-janji tidak jelas tersebut.
Dari sinilah sebenarnya kemuakan itu terjadi, betapa pemilu telah jauh kehilangan makna sakralnya sebagaimana perjanjian masyarakat yang telah dikonsepsikan sebelumnya. Ia bukan lagi kegiatan berfungsi-guna bagi terpilihnya calon pemimpin yang amanah, benar-benar peduli, dan memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.

Tampaknya realitas ini jauh lebih besar kemungkinan terjadi di negeri ini, jadi istilah “janji yang mengikat” antara rakyat dan calon pemimpin yang terpilih nanti tak lebih dari sebatas dongeng yang hanya ada di buku saja.

Misteri Kebahagiaan

30 Mei 2010

Judul Buku : the Secret of Happiness
Penulis : Richard Schnoch
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Republika)
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : x + 342
Peresensi : Moh. Fairuz Ad-Dailami

Kebahagiaan dikenal sebagai sesuatu yang paling berarti dalam kehidupan seiring Tuhan telah menciptakan manusia satu-satunya makhluk berakal di dunia. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan dalam esensinya, mau tidak mau terkait erat terhadap dimensi keduniaan.

Karena hanya di dunialah kebahagiaan itu benar-benar dapat terlihat dan terasa ketika ia menemui oposisinya, ketidak-bahagiaan. Itu mengapa alasan Tuhan menurunkan Adam ke dunia unutk belajar banyak hal dan menghindarkan dari ke-ajegan kehidupan surga yang bertentangan dengan naluri manusia yang dinamis.

Kebahagiaan dalam perjalanan sejarah dan perkembangan umat manusia memiliki dimensi pengertian filosofis yang berbeda. Setiap momentum di zamannya, selalu ada penafsiran baru untuk mengungkap misteri kebahagiaan. Sebaimana filsuf Inggris pada abad ke 18 M yang melihat kebahagiaan dapat terwujud ketika manusia memaksimalkan tingkat kepuasan dengan caranya masing-masing, dan orang yang menganut aliran ini disebut utilitarian (Baca: halaman 41).

Epicurus yang lahir setelah tujuh tahun kematian Plato (341-271 SM) menganggap kepuasan sebagai suatu kewajaran dan merupakan hasrat keinginan yang ada pada setiap manusia. Tidak heran jika gagasannya didukung oleh banyak orang (epicurean). Sementara Shvetaketu dan Siddhartha Gautama sebagai orang paling penting dalam sejarah agama Hindu dan Budha, melihat kepuasan dan kebahagiaan adalah ketika kita bersedia menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan mulia, membantu sesama manusia, dan berbagi rasa unutk menciptakan bahagia.

Agama Kristiani melihat kebahagiaan sejati hanya ada setelah mati. Bahagia adalah refleksi imajinasi kehidupan surga. Namun Kimia Kebahagiaan versi Al-Ghazali dalam Islam melihat kebahagiaan ketika seseorang mampu mengalami perjalanan spiritual untuk menjadi sosok manusia yang berkesadaran. Kebahagiaan ini dapat terjadi dalam kehidupan di dunia seindah pertemuan langsung dengan esensi Tuhan di surga..

Dalam tradisi pemikiran orang-orang Yahudi dan kaum Stoic, menerjemahkan kebahagiaan ketika seorang ditindas mampu bertahan dalam penderitaan. Hal ini cermin dari pengalaman orang-orang Yahudi yang dalam sejarahnya menjadi umat minoritas, terpinggirkan, dan korban pembantaian ras. Maka sengsara atau bahagianya seseorang kuncinya terletak pada pikiran manusia itu sendiri untuk bagaimana merasakannya.

Schoch dalam bukunya benar-benar menguraikan rahasia kebahagiaan dengan latar belakang keagamaan maupun tradisi pemikiran filosofis yang berbeda. Meskipun untuk memahami buku ini membutuhkan eksplorasi filosofis yang cukup mendalam, namun keluasan isi uraiannya terasa begitu menghibur dan “menjelajah”, layak jika ia mendapat predikat pakar kearifan klasik.

Di tengah bumi yang semakin spiritual, buku ini menggali kearifan tradisional. Meminjam istilah Umar Kayam, bahagia atau tidaknya seseorang tergantung seberapa jauh ia memiliki dan memahami kearifan lokal

Manusia dalam kewajarannya tidak terlepas dari sikap sawang-sinawang atau mandang-memandang, banding-membandingkan (Baca: Mangan Ora Mangan Asal Kumpul). Sebagaimana antara dua orang, kaya dan miskin. Si kaya ingin menjadi miskin (rakyat biasa) ketika hartanya membuat malapetaka bagi dirinya, kekayaannya tak ubahnya seperti kepuasan dan kebahagiaan yang hampa. Sementara si miskin mengkhayalkan posisinya menjadi orang yang berharta, terlalu lama ia dalam keadaan miskin membuatnya merasa menderita dan menganggap kebahagiaan paling besar ketika ia berhasil menjadi orang yang kaya.

Ini yang membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Terlalu lama ia berada pada keadaan ajeg (monoton, statis) akan menimbukan sikap kebosanan dan kejenuhan. Perlu kearifan lokal untuk memahami arti penting dari setiap perjalanan kehidupan.

Judul Buku : Diplomasi Dalam Aksi: Sebelas Diplomat Indonesia
Penulis : Nogroho Wisnumurti (ed.)
Penerbit : Angkasa Bandung
Cetakan : I, Desember, 2008
Tebal : vi + 192 halaman

Dalam studi Hubungan Internasional, Bargaining Position (Posisi tawar-menawar) sebuah negara terkait konteks seberapa besar ia dipertimbangkan oleh negara-negara lain dalam pergaulan internasional adalah sedikit banyak ditentukan oleh Diplomatnya. Itu mengapa, buku ini hadir untuk mencoba menjawab pertanyaan yang bagi sebagian besar masyarakat kita adalah hal yang sangat awam.

Kepustakaan mengenai dunia diplomasi, diplomat, dan urusan luar negeri terkait kepentingan nasional (national interest) Indonesia masih tidak banyak ditulis. Baik oleh para pelakunya sendiri maupun penulis lain, entah ditujukan sebagai studi sejarah maupun sebagai memoar pribadi.

Kerukunan Purnakaryawan Departemen Luar Negeri (KP Deplu) memprakarsai penerbitan buku Diplomasi Dalam Aksi ini, yang dimaksudkan untuk memperkaya khasanah kepustakaan tentang diplomasi Indonesia. Buku ini kebetulan diluncurkan tepat setelah tujuh hari kematian almarhum Bpk. Ali Alatas, S.H pada waktu acara Pusdiklat Departemen Luar Negeri di Pejambon.

Dalam peluncurannya, kehadiran buku ini juga didedikasikan untuk salah satu putra terbaik negeri yang terkenal dengan julukan “Sang Diplomat Ulung” itu, sekaligus penghargaan atas prestasi mengagumkan yang sempat tersemat pada diri beliau sebagai kandidat kuat untuk menjadi Sekjen PBB mewakili Benua Asia setelah Kofi Annan seandainya usia beliau masih layak saat itu.

Sebelas mantan diplomat senior Indonesia yang berkarir lebih dari 30 tahun dalam karir diplomatnya (diplomat carier), benar-benar representasi dari seorang diplomat (ambassador) setelah melalui delapan tahapan dengan rentang waktu tiga tahun di setiap tingkatannya, mencoba menuliskan “sejarah” ulang penggalan pengalaman mereka yang panjang dan penuh tantangan di bidang diplomasi lewat buku ini kembali.

Penggalan Pengalaman
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana beratnya menjadi seorang diplomat dalam menjalankan tugas sesuai instruksi pimpinan pemerintahan (Presiden dan Menteri Luar Negeri) ketika diwajibkan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Setidaknya penerbitan buku ini merupakan suatu pengungkapan kerja keras para diplomat kita dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia lengkap dengan kedaulatan, harkat, dan martabat sebagai negara di mata dunia maupun pergaulan internasional.

Upaya diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat kita tidak semuanya menunjukkan kemudahan. Bahkan lebih banyak jalan terjal yang harus dilalui, seperti ruwetnya perjuangan Indonesia untuk mengegolkan upaya membentuk Dana Bersama (Common Fund) oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Extraordinary Plepotenciary) Poejdi Koentarso untuk menyelamatkan negara-negara berkembang akibat badai krisis energi minyak tahun 1973. Tidak hanya sulitnya lika-liku diplomasi yang harus dihadapi, perjuangan ini untuk berhasil pun memakan waktu yang sangat panjang. Kurang lebih 10 tahun, mulai Maret 1977 sampai Juni 1988 (baca halaman 48).

Perjuangan tidak hanya sampai di situ, selain tenaga, pikiran, tekanan psikologis, dan waktu, nyawa pun seolah kurang cukup untuk mengiringi seorang diplomat dalam penugasannya. Hal ini dialami langsung oleh Darwoto ketika masih menjabat sebagai Sekretaris Pertama (Counsellor) di KBRI Peking, RRC. Ketegangan itu adalah perlakuan para demonstran yang membahayakan jiwa dari seorang pejabat diplomat publik, karena suasananya saat itu antara RRC-RI sedang saling curiga terkait percobaan kudeta oleh G-30-S/PKI di Indonesia yang dipenuhi wacana tuduhan keterlibatan RRC atas bergulirnya tragedi kemanusiaan ini.

Apresiasi dan Harapan
Secara pribadi, tiga dari sebelas Diplomat yang menyumbangkan tulisan di buku ini kebetulan mengajar dan menjadi dosen tetap di jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pasca berakhirnya diplomat karier mereka, memang menegaskan kepawaian yang sarat akan pengalaman dalam bidang diplomasi dan urusan luar negeri. Materi buku yang berisi pengalaman inilah yang kemudian mengenalkan kita kepada sosok para diplomat bangsa ini, bahwa mereka dalam sepak-terjangnya penuh dengan “aksi”.

Namun di sisi lain, para diplomat kita yang menjabat juga patut disayangkan. Dari sekian ratus diplomat yang ada, tentunya kaya akan pengalaman dan “aksi” nyata, sayangnya mereka miskin dalam berkarya. Menjadikan masalah diplomasi dan urusan luar negeri adalah hal yang sangat awam bagi masyarakat. Seolah masalah ini hanya terbatas pada lingkungan Pejambon dan Deplu saja. Urusan luar negeri seolah kurang “membumi” karena memang begitu sedikitnya literatur yang membahas soal ini sebagai sarana sosialisasi.

Bahkan hadirnya buku tidak tebal ini di akhir tahun menunjukkan minimalisnya para diplomat kita dalam kemauan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Tampaknya para mantan diplomat kita harus mulai ada kesadaran untuk menghadirkan “sejarah” kembali dalam bentuk karya tulisan yang belum sempat mereka lakukan semasa menjabat diplomat karir dengan kesibukan luar biasa itu.

Mereka dapat melakukan disela-sela mengajar sebagai dosen di usia senjanya. Hal ini akan sangat berguna untuk menciptakan keterkaitan mata rantai ilmu hubungan internasional terkait serba-serbi dunia diplomasi kepada generasi selanjutnya. Jangan biarkan “warisan” ini hilang termakan oleh penurunan daya ingat para mantan diplomat kita yang semakin tua itu.

Semoga kehadiran buku ini di penghujung bulan akan menjadi kado indah di awal tahun ke depan. Sebagaimana harapan almarhum Ali Alatas, kumpulan tulisan-tulisan ini sekiranya dapat merangsang para diplomat kita, baik yang sedang menjabat diplomat karir mapun purnakaryawan untuk mewariskan pengalamannya melalui litaratur sebagai upaya memperkaya khasanah kepustakaan diplomasi. Meskipun materinya berat, namun penulisan buku ini mencoba menghadirkan suasana yang ringan, tidak terlaku kaku dan “protokoler” layaknya pidato kenegaraan.

Siapapun mereka, diplomat kita adalah orang yang harus kita apresiasi. Mereka adalah caraka-caraka yang menjalankan tugas negara dengan penuh dedikasi. Keahlian bernegoisasi untuk kemudian menciptakan suatu kondisi yang mampu mengubah arah strategi dan taktik lawan adalah salah satu bentuk dari keberhasilan diplomasi, yang disebut juga sebagai “garis depan pertahanan negara” (diplomacy is the fronline of defense). Maka dari itu, diplomat kita tak ubahnya seperti pahlawan yang dalam tugas kenegaraannya adalah suatu perjuangan.

*Moh. Fairuz Ad-Dailami, Majalah DIPLOMASI, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (Edisi 7, Maret 2008)

Oleh: Moh. Fairuz Ad-Dailami

Disaat dunia semakin mengglobal, batas negara semakin terasa kabur dan suasana kompetisi hampir disemua lini kehidupan semakin terasa kental. Menegaskan bahwa dunia pendidikan pun tidak luput ikut larut dalam arus persaingan untuk berlomba-lomba menciptakan institusi pendidikan berlevel internasional (World Class University). Itulah sekelumit cerita di kota-kota besar, lebih-lebih Jakarta, bahwa betapa pendidikan sangat mahal dan anggapan semakin besar dana pendidikan yang diterapkan oleh suatu institusi pendidikan, maka menunjukkan kebanggaan (prestige) dan kualitas. Hal ini oleh Prof. Komaruddin Hidayat dikatakan sebagai bentuk “tantangan” yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan kedepan.

Keadaan ini semakin diperparah oleh lahirnya kebijakan mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan) bagi perguruan tinggi negeri. Jadi tidak hanya perguruan tinggi swasta saja yang terkenal akan kemahalannya karena regulasinya yang memang dibentuk dengan estimasi dana yang besar, melainkan implmentasi BHP dapat menyebabkan institui pendidikan negeri terkait juga berpotensi untuk melakukan hal yang sama.

Jika hal ini terjadi, maka akan tercipta kesenjangan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akses pendidikan seolah hanya untuk bagi mereka yang kaya. Suasana ini akan terulang kembali seperti zaman penjajahan dulu. Dan yang lebih menyakitkan, institusi pendidikan akan mulai kehilangan tujuan mulianya. Bukan difungsikan untuk sarana berkembangnya ilmu pengetahuan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, melainkan menjadi komoditas komersial sebagai alternatif jalan baru memperbanyak aset kekayaan.

Pemerintah dan para praktisi pendidikan harus menjauhkan teori “jer basuki mawa beya” dalam melihat dunia pendidikan sebagai cara pandang, bahwa seberapa jauh keberhasilan suatu institusi pendidikan itu ditentukan seberapa besar dana yang harus dibayarkan. Tidakkah kita terinspirasi pada cerita film laskar pelangi? Bahwa terciptanya manusia yang berkualitas dan kaya akan ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya ditentukan oleh banyaknya kekayaan, tetapi ketekunan, semangat, dan cinta.

Jalan baru atas masalah dunia pendidikan di negeri ini adalah tuntutan lahirnya kearifan oleh institusi pendidikan maupun pemerintah. Hal ini dapat dilihat bagaimana sejarah Ki Hajar Dewantara dalam mempelopori terbentuknya lembaga pendidikan melalui Taman Siswanya. Tut Wuri Handayani tampaknya menjadi cahaya atas kebuntuan ini, bahwa pendidikan yang baik adalah hak dasar manusia tanpa ditentukan oleh kelas dan kasta.

Oleh: Moh Fairuz Ad-Dailami

Berapa banyak teori dan gagasan yang mengatakan bahwa ekonomi mikro adalah sektor yang mempunyai kekebalan dan daya tahan ampuh terhadap gejolak politik maupun krisis. Celah inilah yang harus kita gunakan sebgai cara pandang optimis untuk meneropong perekonomian di tahun ini sebagai sektor yang mempunyai potensi dalam menggerakkan roda perekonomian negara di tengah-tengah puncak krisis global.

Pemerintah melalui sosialisasianya dapat dikatakan cukup berhasil dalam mencerdaskan masyarakat memahami dan melihat masalah yang ada terkait krisis global ini. Hemat kata, krisis ini tidak mungkin dihindari oleh suatu negara. Permintaan ekspor menurun, PHK besar-besaran, dan lesunya pasar merupakan asumsi pahit yang akan ditimbulkan oleh krisis global itu.

Jelas, dari sini terlihat sektor mana yang paling terpukul oleh dampak krisis sekarang. Perusahaan-perusahaan besar, indutri berbasis ekspor, dan sektor usaha makro lainnya. Paket bantuan dana, menaikkan suku bunga, dan program padat karya merupakan langkah pemerintah dalam upaya melewati krisis.

Lalu, di mana letak peran serta ekonomi rakyat berskala mikro ini sebagai sektor yang kita jadikan optimisme melewati tahun puncak krisis ke depan? Usaha mikro seperti koperasi, pertanian, perkebunan, perikanan, UKM (Usaha Kecil Menengah), dan pedangang kecil sebenarnya adalah elemen kuat dan bandel di tengah-tengah gejolak krisis ekonomi. Hal ini terbukti pada krisis ekonomi 1998, namun tidak banyak yang menyadari, sehinnga sektor ini tidak pernah menjadi variabel endogen dalam perencanaan ekonomi maupun pembangunan nasional.

Pemerintah sekali lagi dituntut peduli penuh dalam memberdayakan sektor perekonomian bawah ini. Seperti memberikan pinjaman modal dengan syarat ketentuan yang mudah, kebijakan pengendalian harga barang dipasar yang terjangkau, dan kebijkan-kebijakan “pro-rakyat” lainnya adalah langkah tepat untuk menciptakan sektor ini lebih menggeliat lagi.

Akibatnya, hal ini akan menumbuhkan kembali kemampuan daya beli masyarakat sekaligus alternatif memulihkan kelesuan pasar ketika ekonomi skala makro sudah terlalu berat untuk di atasi karena parahnya terinfeksi krisis yang ada. Jelasnya, ekonomi rakyat yang terkesan remeh dan “tak terlihat” itu kenyataanya mempunyai kekebalan yang luar biasa. Seberapa besar kekebalan itu ada tergantung seberapa besar pemerintah benar-benar mau mendukungnya.

Inilah tawaran untuk melewati masa suram tahun ini, optimisme itu akan tetap ada ketika kita mau benar-benar peduli untuk melihatnya. Bahwa sektor perekonomian rakyat tidak “semenggiurkan” ekonomi makro itu memang benar, namun sektor ini tidak dapat dipungkiri fungsi-gunanya sebagai bantalan empuk ketika pasar global mengalami kegagalan.

Oleh : Moh Fairuz Ad-Dailami

Islam bukanlah agama eksklusif (tertutup) yang terus berorientasi pada ranah primitif, maupun tidak peka terhadap perkembangan zaman dalam perjalanan setiap peradaban. Kedatangan Islam justru bersentuhan langsung dengan aspek kehidupan yang membawa misi keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Komprehensifitas Islam yang terejawantahkan dalam Al-Qur’an menceritakan berbagai permasalahan dan serangkaian peristiwa kemasyarakatan, namun juga disertai solusi arif atas problematika yang terjadi melalui kebenaran universal dan pemahaman kesemestaan.

Ini menunjukkan bahwa Islam bukan sepenuhnya hadir sebagai agama langit yang terbatas dalam entitas tauhid (ke-Esaan Tuhan), namun nilai-inilai Islam juga sebenarnya mampu hadir dalam dimensi kehidupan dan tataran sosial-kultural yang mencakup berbagai lini, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik.

Dinamika Ekonomi dan Politik dalam Islam
Dinamika politik dalam Islam secara garis besar ditandai lahirnya periode Madinah sebagai awal perkembangan Islam hingga ke seluruh dunia, yang telah memberikan inspirasi kepada masyarakat Islam di berbagai belahan negara untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan sebagaimana yang terjadi di Madinah, dimana terdapat suatu tatanan yang memberikan ruang ekspresi saling menghormati, menjunjung nilai-nilai keadaban, dan pengakuan hak-hak asasi manusia[1].

Perkembangan masalah ekonomi dan politik dalam Islam bukanlah sesuatu yang baru dan bukan masalah yang harus di jauhi melalui sikap antipati. Memang harus kita akui bahwa term atau istilah ekonomi maupun politik bukan datang dari dunia Islam, ekonomi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang menentukan pilihan, penghematan, dan cara penggunaan sumber daya yang langka yang disediakan oleh alam untuk mencapai kesejahteraan[2].

Senada dengan uraian di atas, dalam Ekonomi Islam terdapat kata “falah” sebagai tujuan hidup. Falah berasal dari bahasa arab (aflaha-yuflihu) yang berarti kesuksesan, kemuliaan, atau kemenangan. Dalam konteks dunia, falah merupakan konsep yang multi-dimensi, ia memiliki implikasi pada aspek perilaku individual/mikro maupun perilaku kolektif/makro yang mencakup kelangsungan hidup atau pemenuhan kebutuhan, kebebasan berkeinginan, kekuatan, dan harga diri[3].

Sementara definisi politik menurut Harold Lasswell dirumuskan sebagai “who gets what, how, and when” (siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana)[4], atau secara garis besar politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu[5]. Dalam Islam sendiri politik dikenal dengan istilah siyasah yang pada esensinya selaras dengan pengertian di atas.

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi dan politik memang benar-benar sesuatu yang terjadi dalam kehidupan bemasyarakat maupun bernegara, dan dalam Islam pun hal ini bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan atau dianggap tidak sesuai dengan syari’at Islam. Karena sebagai contoh kecil, Nabi Muhammad pun tidak lepas dari kedua masalah tersebut dan ikut serta dalam kegiatan keduanya, terbukti Beliau semasa hidupnya setelah hijrah dari Mekkah lalu bermukim di Madinah, Beliau mempunyai kekuasaan politik yang tidak hanya sebatas menjadi kepala agama, namun juga kepala pemerintahan.

R. Strothman melihat bahwa Islam tidak hanya sebatas sistem agama, lebih jauh dari itu, Islam di dalamnya tersimpan potensi multifungsi yang salah satunya mencakup sistem politik, sebagai contoh kongkritnya adalah Muhammad di samping seorang Rasul, ia juga telah menjadi ahli negara[6].

Sebagaimana bidang politik, Muhammad pun semasa hidupnya melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi. Sebagai bukti nyata adalah setelah Beliau resmi memperistri Siti Khadijah, Beliau ikut berdagang bersama Khadijah yang sebelumnya mempunyai profesi pedagang dan termasuk golongan saudagar kaya. Ini menunjukkan bahwa Muhammad selaku pembawa risalah agama Islam tidak menutup kemungkinan untuk ikut serta berperan dalam kegiatan ekonomi praktis, yaitu berdagang.

Ekonomi Islam pada intinya adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami[7]. Kemudian yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi pada umumnya adalah ekonomi Islam tidak hanya mempelajari aspek positif, namun juga aspek normatif yang dalam ekonomi konvensional hal itu dipisahkan secara tegas.

Seiring semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, seiring itu pulalah Islam berusaha berjalan bersama bergulirnya waktu untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada secara kontekstual, termasuk permasalahan yang semakin kompleks, yaitu ekonomi dan politik.

Terlepas dari Islam, dua masalah ini terlihat begitu rumit dan penuh pertimbangan. Sebagaimana kita tahu bahwa Ekonomi dan Politik adalah dua entitas yang berbeda namun mempunyai keterkaitan yang erat dan kadang bersifat dilematis. Dalam ranah politik jangka pendek diukur dalam hari, bahkan jam, dan dalam tempo lima tahun umur hidup politik dapat hancur dan hidup kembali berkali-kali; sementara untuk membangun perekonomian yang stabil diperlukan waktu yang lama dan puluhan tahun[8].

Yang kemudian menjadi perdebatan adalah apakah negara mau memberi waktu sedemikian banyak kepada suatu pemerintahan (Orde atau Rezim) untuk mencapai tujuannya? Hal ini akan berbenturan dengan konsep Ilmu Politik yang mengatakan bahwa suatu pemerintahan akan terus berubah dan kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi , Lord Acton mengatakan “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely “ (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung akan menyalah-gunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalah-gunakannya)[9].

Kontradiksi semacam inilah yang kemudian menjadi polemik dewasa ini, lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Islam dihadapkan pada contoh kasus di atas dan permasalahan pelik yang justru muncul di abad modern seperti sekarang? Dapatkah Islam memberi solusi yang efektif ?

Islam sebagai Solusi Inspiratif dalam Ekonomi-Politik
Dalam sepanjang perjalanan waktu, Islam dan berbagai elemen intrinsik didalamnya banyak diwacanakan seolah berbenturan dan kontradiktif terhadap ilmu pengetahuan maupun konsep ilmiah yang ada. Hal ini yang kemudian menyebabkan kesalah-pahaman dalam mind-set dan paradigma banyak manusia, termasuk umat Islam itu sendiri. Akhirnya Islam dan semua variabel pendukungnya hanya diletakkan tataran agama yang bernilai eksklusif, pribadi, dan berada pada wilayah yang “jauh”.

Kemudian lahirlah sikap apreori terhadap Islam untuk melebarkan jarak sentuh sebagai upaya memisahkannya dari aspek kehidupan (ekonomi dan politik) dengan berbagai alasan yang sulit dijelaskan dan rasa “ketakutan” maupun “curiga” yang berlebihan ketika nilai-nilai Islam harus diterapkan.

Dewasa ini masalah ekonomi dan politik Islam menunjukkan perkembangan yang baik, artinya vairabel ekonomi dan politik yang bernafaskan nilai-nilai Islam mulai adanya pengakuan. Sebagai contoh menjamurnya perbankan syari’ah dalam banyak institusi perbankan yang ada di berbagai belahan dunia, perbankan syari’ah memiliki keunggulan yang membuatnya mampu bertahan dari krisis dan ketangguhan sistem perbankan syari’ah menawarkan harapan baru dalam menyelesaikan berbagai masalah maupun solusi alternatif atas kerumitan sistem industri perbankan yang tidak mampu diselesaikan oleh teori konvensional[10].

Angin segar bagi Islam terhadap masalah politik dan pemerintahan justru terjadi setelah bergulirnya reformasi pasca Orde Baru yang menuntut keadaan lebih demokratis. Sebagai contoh lahirnya kebijakan-kebijakan yang Islami berdasarkan kemauan yang berkembang dan menguat di masyarakat, yaitu disahkannya Perda (Peraturan Daerah) tentang pengelolaan zakat di propinsi NAD dan Banten[11].

Dari sini bukan berarti melembagakan agama (Islam) ke dalam semua lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara menyeluruh dan totalitas. Mengutip Ahmad Musthofa Haroen dalam essainya bahwa ada tiga bentuk hubungan antara agama dan negara, Jalan pertama adalah ketika agama mulai dikooptasi dengan negara yang menyebabkan ia menjadi stempel kebijakan semata. Sedang jalan kedua ialah ketika agama masuk dalam “kandang kebenaran” namun dilembagakan melalui afiliasi politik dan hanya dijadikan kepentingan poliitis oleh suatu organisasi atau kelompok yang memuja klaim kebenaran. Kedua jalan ini pernah terjadi di negeri ini, namun kenyataanya masing-masing tidak berujung pada jalan yang “bahagia”.

Adapun jalan ketiga adalah ketika fungsi profetik (pribadi) dan keilahian dikembalikan pada otoritas personal untuk menghayati keberagamaan secara kritis dan terbuka. Agaknya, jalan ketiga ini masih cukup terjal dilewati, namun demikian semangat reformis Muhammad akan menjadi daya dobrak untuk menggugat segala macam bentuk manipulasi kezaliman. Dari sini akan terlihat bahwa agama (Islam) mengambil peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan egaliter. Pertannya, cukup sadarkah umat Islam Indonesia untuk melakukannya?

Selaras dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa agama adalah inspirasi dan bukan aspirasi. Inspirasi berarti agama (Islam) menyumbang tegaknya nilai sistem kemanusiaan dalam strata sosio-kultural, sementara aspirasi berarti hasrat politis untuk memanipulasi agama menjadi sesuatu yang legal-formal, serba institusional, dan ujung-ujungnya menghendaki berdirinya negara agama.

Untuk mendirikan negara agama (Daulah Islamiyah) pada dasarnya sah-sah saja, dengan catatan melalui proses legalitas dan bersifat konstitutif. Dan proses ini memerlukan waktu panjang dan tingkat kesiapan masyarakat yang matang, termasuk terjaminnya kejejahteraan ekonomi dan kestabilan politik dalam negara.

Tidak dibenarkan oleh agama apapun termasuk Islam, ketika suatu kelompok melakukan pemaksaan dan cara-cara kekerasan untuk mewujudkan negara agama tanpa pertimbangan keadaan yang cermat. Hal ini tentunya akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri sebagai agama yang penuh kedamaian (din al-hanif). Kedatangan Islam harus dipahami sebagai rahmat bagi semua umat (rahmatan lil ‘alamin) dan mempunyai daya jelajah kebenaran yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (shohih likulli zaman wal makan).

Setidaknya ada enam elemen penting yang patut untuk diperhatikan dalam politik menurut prespektif Islam. Pertama kekuasaan tertinggi berada ditangan Allah dan bahwa pemerintahan kaum muslimin pada hakikatnya adalah khalifah atau perwakilan (An-Nisa: 59). Kedua keadilan (Dan aku perintahkan berlaku adil di antara kamu…..), surat Asy-Syuura ayat 15. Ketiga persamaan (sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara….) surat Al-Hujarat ayat 10. Keempat Musyawarah (….adapun urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka…) surat Asy-Syuura ayat 38. Kelima amanah (sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu untuk menetapkan hukum di antara manusia yang adil) surat An-Nisaa’ ayat 58. Dan keenam ketaatan (….dan hendaknya mereka tidak mendurhakaimu dalam urusan yang baik….) surat Al-Mumtahanah ayat 12[12].

Jelas bahwa Islam telah memberikan prinsip-prinsip ideal yang seharusnya mampu di imlementasikan dalam aspek ekonomi maupun politik untuk terwujudnya pemerintahan yang baik (God Governance). Sayangya prinsip-prinsip tersebut seolah masih hanya sebatas potensi dan umat Islam pun belum mampu sepenuhnya menerjemahkan hal itu dalam gagasan dan aksi nyata.

Penutup kata, sekali lagi bahwa Islam sebagai inspirasi dalam penentuan sikap dan media pertimbangan dalam menjalani kehidupan agaknya akan jauh lebih efektif serta mampu bertahan lama dalam pola pikir kita, dari pada ia harus dipaksakan lewat pelembagaan yang justru menghadirkan konflik perbedaan pemahaman berkepanjangan.

Mempertegas maksud di atas, berkaca pada negeri ini, Indonesia akan lebih harmonis ketika masalah ekonomi maupun politik (pemerintahan) dengan agama (Islam) di bingkai dalam teori Paradigma Simbiotik. Dalam konteks ini, agama (Islam) membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya, negara memerlukan agama sebagai penyumbang nilai-nilai moral, etika, dan spritualitas[13].

Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah bahwa agama dan negara memang harus diakui sebagai dua entitas yang bebeda namun saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam teori paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya social contract[14], tetapi tidak menutup kemungkinan hal itu dapat diwarnai oleh hukum agama (syari’at).

*Esai ini sebelumnya telah menjadi pemenang Juara I dalam Lomba Esai dengan Tema: “DINAMIKA POLITIK DAN EKONOMI DALAM ISLAM” Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.